Friday 2 June 2017

Dongeng Sobat Nabi: Bilal Bin Rabah


“Saya ini ialah seorang budak Habsyi…dan kemarin saya seorang budak belian.” Demikianlah penuturan Bilal bin Rabah sambil pipinya membasah mengenang dirinya masa lalu. Kalau bukanlah lantaran jasa Abu Bakar, tidaklah ia menjadi sahabat Rasulullah SAW dan muadzin yang pertama dalam Islam.

Bilal dulunya hanya seorang budak. Namun, tanyakanlah kepada sekian banyak muslim ketika ini siapa yang tidak mengenalnya.  Seorang budak yang ketika masuk Islam harus disiksa tuannya dengan tindihan watu dan ia meneriakkan kata, “Ahad! Ahad!”

Tanpa Islam, Bilal bin Rabah yang hanya seorang budak itu bukanlah siapa-siapa, seseorang yang tak berharga, tertindas dan terinjak. Tanpa Islam, tak akan mungkin kedudukan harkat dan martabatnya terangkat menjadi sorotan dalam sejarah. Tanpa Islam, hitam warna kulitnya tak membuatnya lebih populer dari tokoh-tokoh yang lebih kaya dan tampan.

Bilal ialah budak dari Bani Jumah di Mekah. Hari-harinya sebagai budak berlalu tanpa menyisakan impian untuk hari esok. Ia mengenal Nabi Muhammad SAW dari cerita-cerita tuannya sendiri, Umayah bin Khalaf.  Obrolan tuannya dengan sesama Bani Jumah yang penuh kebencian  pada Rasulullah SAW.

Tapi, pembicaraan yang penuh kebencian itu malah semakin meneguhkan hati Bilal akan keberadaan Nabi SAW.  Sampai risikonya ia mengikrarkan dirinya sebagai seorang Islam kepada Rasulullah SAW secara diam-diam. Namun, usang kelamaan beritanya  tersebar.

Tentulah berkobar kemarahan Umayah mendengar hal tersebut. “Matahari yang terbit hari ini takkan karam dengan Islamnya budak durhaka itu!”


Siapalah Bilal itu hingga berani menentang tuannya? Juga, siapakah Bilal yang hanya seorang budak, sangatlah gampang bagi tuannya untuk menyiksanya? Dibaringkan tanpa sehelai pakaian di atas pasir panas sepanas bara, kemudian dijatuhkan watu besar di atas dadanya.

Siapakah Bilal yang sanggup melawan semua siksaan itu?
Ya, siapakah Bilal yang sanggup melawannya kalau bukan lantaran ada keyakinan yang bersarang didadanya? “Teriakkan Lata dan Uzza!”  Hardik kafirin yang menyiksanya.  Maka Bilal pun berteriak, “AHAD!”

Siapakah budak kulit gelap itu yang sehabis ditindih watu dalam panasnya mentari, kemudian diarak keliling bukit-bukit dengan tali pada leher dan badannya.  Diteriaki belum dewasa dan dicemooh keliling Mekah.  Siapakah pria yang tetap mengucapkan Ahad, walaupun dijanjikan akan diberi dispensasi eksekusi keesokan harinya?

“Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka! Demi Tuhan Lata dan Uzza, akan kujadikan kau sebagai pola bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Umayah berteriak kemudian meninju tubuh budak yang tak lagi bertenaga.

Tak ayal segala daya dilakukan Umayah. Ia menyuruh orang untuk berpura-pura kasihan pada Bilal. Mereka membujuk Bilal untuk meninggalkan Islam dengan banyak sekali anjuran indah.  Maka lagi-lagi keesokannya Bilal di bawa ke padang pasir yang panas untuk mendapat siksaan yang sama.

Pada ketika siksaan yang menderanya hampir mencapai puncaknya di hari yang panas itu, tiba-tiba datanglah Abu Bakr As Shidiq ra. “Apakah kalian akan membunuh seorang pria lantaran menyampaikan bahwa Tuhanku ialah Allah?” Abu Bakr menghampiri Umayah kemudian katanya, “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya dan bebaskan dia!”

“Bawalah dia, Demi Lata dan Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepaskan juga,” kata Umayah. “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga,” ujar Abu Bakr.

Demikianlah Yang Mahakuasa telah membebaskan Bilal melalui Abu Bakr ra.  Bilal berada bersama orang-orang muslim yang dicintainya, menikmati kemerdekaannya dari budak. Meninggalkan kenestapaan, dan turut berhijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Sampai risikonya perintah sholat turun, dan Bilal ditunjuk sebagai muadzin pertama.

Bilal di Perang Badar
Umayah bin Khalaf yang merupakan majikan Bilal bergotong-royong tidak mau turut berperang di Badar. Namun, suatu hari datanglah pemuka kaum Quraisy yang sangat mendorong adanya perang yaitu Ughbah bin Abi Muith kepadanya.  “Hai Abu Ali, terimalah dan gunakanlah pedupaan ini, lantaran kau tak lebih dari seorang wanita,” kata Ughbah.

“Keparat, apa yang yang kau bawa ini?” teriak Umayah dengan geramnya. Tak sanggup mengelak risikonya Umayah turut perang Badar. Ughbah juga yang dahulu mendorong Umayah menyiksa Bilal sebelum menyuruhnya berperang.

Maka berkecamuklah perang Badar. Pada suatu ketika telah ditakdirkan Allah, Ughbah risikonya terbunuh di tangan Bilal. Sementara itu, Umayah yang ketakutan meminta pertolongan dari Abdurahman bin Auf semoga menjadikannya tawanan dan menyelamatkan nyawanya. Namun, hal tersebut terlihat oleh Bilal. “Ini dia, gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf, biar saya mati daripada orang ini selamat,” terial Bilal.

“Hai Bilal dia tawananku,” ujar Abdurrahman. “Tawanan? Padahal pertempuran masih berkobar dan peperangan masih berputar,” kata Bilal. Sambil menatap kepada kaum muslim lain, Bilal berteriak, “Hai Pembela-pembela Allah, ini dia gembong orang kafir, Umayah bin Khalaf! Biar saya mati daripada dia lolos.” Berdatanglah pasukan muslimin kala itu dan Abdurrahman bin Auf tak lagi sanggup melindunginya. Umayah tewas di perang Badar.

Adzan di Kabah
Saat penaklukan Mekah, Bilal masuk ke dalam Kabah bersama Rasulullah SAW. Lebih dari 300 buah berhala ditemukan di dalamnya. Segeralah Rasulullah SAW menghancurkan berhala-berhala tersebut, terutama berhala yang menggambarkan nabi Ibrahim sedang main judi.

Setelah membersihkan berhala, Rasulullah  SAW menyuruh Bilal naik ke adegan atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Itulah adzan pertama yang berkumandang di Mekah.  Setiap yang ada di situ memperhatikan dengan seksama apa yang Bilal akan lakukan. Semuanya hening dan hening menunggu.  Sementara kaum musyrik yang bersembunyi di rumah-rumah mereka bertanya-tanya dalam hati sama-sama menanti.

Berkumandanglah adzan yang merdu menaungi Kabah dan sekitarnya.
Tiga orang darah biru Quraisy berpandang-pandangan. Mereka ialah Abu Sufyan bin Harb, yang gres saja masuk Islam, Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam yang belum masuk Islam. Mata mereka tertuju kepada Bilal yang menginjak-injak berhala kemudian mengumandangkan adzan.

Attab berkata, “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya.” Lalu Harits berkata, “Demi Allah, seandainya saya tahu bahwa Muhammad SAW itu di pihak yang benar pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya.”

Abu Sufyan yang menukas pembicaraan kedua orang temannya itu, “Saya tak hendak menyampaikan sesuatu lantaran seandainya saya berkata, pastilah akan disebarkan oleh kerikil-kerikil ini.”

Saat Rasulullah SAW berlalu meninggalkan Kabah, ia menghampiri mereka, “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi.”

Setelah Rasulullah mengungkapkan apa yang telah mereka katakan, berkata Harits dan Attab, “Kami menyaksikan bahwa Anda ialah Rasulullah. Demi Yang Mahakuasa tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami sehingga kami sanggup menuduhnya telah menyampaikannya kepada Anda.”

Setelah itu lalulah Bilal di hadapan mereka. Teringatlah kembali orang mereka pidato Rasulullah SAW yang gres disampaikan:

“Hai golongan Quraisy! Yang Mahakuasa telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan pujian dengan nenek moyang! Manusia itu dari Adam, sedang Adam dari tanah!”

Menangis Mengingat Rasulullah SAW
Sepanjang hidupnya Bilal tak berubah dari keserdahanaan. “Saya seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian,” demikianlah Bilal mengingat-ingat dirinya dahulu semoga sanggup mensyukuri kebaikan nasibnya.  Saat meminang gadis pun Bilal selalu bersikap mulia dan rendah hati.

“Saya ini Bilal, dan ini saudara saya, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. Pada mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk Allah, dahulu kami budak-budak belian kemudian dimerdekakan oleh Allah. Jika pinangan kami Anda terima Alhamdulillah, segalam puji bagi Allah, dan seandainya Anda tolak, maka Allahu Akbar, Yang Mahakuasa Maha Besar.”

Setelah Rasulullah SAW tiada, Bilal sudah tak berkeinginan lagi menjadi muadzin. Ia meminta kepada Umar bin Khattab untuk pergi ke Suriah untuk berjuang di medan perang. Umar memintanya untuk tetap menjadi muadzin namun Bilal tak sanggup mengumandangkan adzan terutama pada kalimat syahadat yang kedua.  Ia akan sedih mengingat Rasulullah SAW telah tiada sehingga suaranya tercekat di tenggorakan.

Suatu kali Umar bin Khattab berkunjung ke Suriah, dan meminta Bilal mengumandangkan adzan. Bilal memenuhi usul Umar dan itulah adzan Bilal yang terakhir. Saat hingga pada kalimat asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…..Bilal mulai mencucurkan air mata. Memandang itu, menangislah semua yang memandanginya, dan tangisan terkeras terdengar dari khalifah Umar bin Khattab.

Bilal berpulang ke rahmatullah di Suriah sebagai pejuang di jalan Allah. Semoga Rahmat dan karunia Yang Mahakuasa melimpah ruah kepada Bilal bin Rabah.

Alhamdulillah




No comments:

Post a Comment