Saturday 27 May 2017

Kisah Sahabat Nabi: Hudzaifah Ibnul Yaman


Kota Madain sedang ramai menunggu kedatangan seorang wali negeri mereka yang gres saja diangkat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Mereka mendengar wali mereka itu seorang yang sholeh, bertaqwa, dan berjasa membebaskan Iraq. Namun, tiba-tiba yang muncul seorang yang hanya menunggang keledai. Kain ganjal duduknya lusuh, sambil makan roti dan garam.

Orang-orang mengerumuninya. Hudzaifah pun menatap air muka para penduduk. Mereka membisu seolah ingin mendengarkan perkataannya.

"Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!" kata Hudzaifah lantang.

Salah seorang dari penduduk bertanya, "Dimanakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?"

Hudzaifah pun menjawab," Pintu-pintu rumah pembesar. Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan menyampaikan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan."

Demikianlah ucapan Hudzaifah ketika pertama kali diangkat menjadi wali negeri di kota Madain. Penduduk pun memandang wali mereka itu dengan kesan pertama sebagai orang yang tak mau ada celah sedikitpun terhadap kemunafikan.





Kebaikan dan Kejahatan
Hudzaifah yakni seorang yang anti kemunafikan. ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah SAW dan ketiganya masuk Islam. Semenjak masuk Islam, ia mempelajarinya eksklusif dari Nabi, dan tak ada dilema hidupnya yang disembunyikannya. Ia yakni orang yang jujur dan gampang baginya untuk membaca watak atau air wajah orang lain.

Hudzaifah arif mengenal abjad dan sifat manusia. Ia arif menebak wajah dan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Hal inilah yang diandalkan oleh khalifah Umar bin Khattab ketika memilihnya. Itu karena ia sebelumnya telah usang bergaul dengan orang yang jahat dan munafik sehingga gampang mengenalinya. Hudzaifah menuturkan:

"Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW ihwal kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya ihwal kejahatan, alasannya yakni takut akan terlibat di dalamnya.

Pernah ku bertanya, "Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, kemudian Yang Mahakuasa mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?"

"Ada," jawab Rasulullah SAW.

"Kemudian sehabis kejahatan masih ada lagi kebaikan?" tanyaku pula.

"Memang tapi kabur dan bahaya," jawab Rasulullah SAW.

"Apa ancaman itu?"

"Yaitu segolongan umat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah."

"Kemudian sehabis kebaikan tersebut masihkah ada kejahatan?" tanyaku pula.

"Masih," jawab Nabi. "Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut permintaan mereka akan mereka lemparkan ke neraka!"

Lalu kutanyakan kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?"

Jawab Rasulullah SAW, "Senantiasa mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka."

"Bagaimana kalau mereka tidak punya jamaah dan tidak pula pemimpin?"

"Hendaklah kau tinggalkan golongan itu semua, walaupun kau akan tinggal di rumpun kayu hingga kau menemui ajal dalam keadaan demikian."

Musuh Kemunafikan
Hudzaifah ibnu Yaman menempuh kehidupan dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan insan terhadap bahayanya. Laksana seorang filsuf, ia berkata:

"Sesungguhnya Yang Mahakuasa Ta'ala telah membangkitkan Muhammad SAW, maka diserunya insan dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang mendapatkan mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati. Kemudian masa kenabian berlalu, dan tiba masa kekhalifahan berdasarkan jejak beliau, dan sehabis itu tiba di jaman kerajaan yang durjana.

Di antara insan ada yang menentang, baik dengan hati dan lisannya tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq.

Dan ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq.

Dan ada pula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini yakni mayat-mayat bernyawa."

Hudzaifah juga berbicara ihwal hati dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya:

"Hati itu ada empat macam. Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir.  Hati yang dua muka, itulah dia hati orang yang munafik. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu yakni laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang dialiri darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang."

Lidah Hidzaifah tajam dan pedas. Itu alasannya yakni pengalamannya yang luas. Hal ini pun membuatnya bertanya kepada Rasulullah SAW:

"Saya tiba menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, "Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan mengakibatkan saya masuk neraka."

Maka kata Rasulullah SAW, "Kenapa kau tidak istigfar? Sungguh saya beristigfar kepada Yang Mahakuasa tiap hari seratus kali."

Suatu kala pernah ia mengalami kepahitan dalam hidup ketika dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bapaknya, Husail bin Yabir,  terbunuh ketika perang Uhud. Saat itu kaum muslim tak mengetahui kalau bapaknya juga telah masuk Islam. Hudzaifah melihat dari jauh ketika pedang menghujam badan bapaknya. "Ayahku, jangan ia ayahku."  Tetapi Yang Mahakuasa berkehendak lain.

Saat kaum muslimin mengetahui mengenai kesalahan itu, mereka pun diliputi perasaan bersalah dan duka. Namun, Hudzaifah berkata, "Semoga Yang Mahakuasa mengampuni tuan-tuan. Ia yakni sebaik-baiknya Penyayang."

Usai perang Rasulullah SAW memerintahkan untuk membayar diyat kepada Hudzaifah atas kematian bapaknya. Namun, ia menolaknya dan menyuruh membagikannya kepada kaum muslimin.

Menjadi Mata-Mata
Sewaktu terjadi perang Khandaq, angin topan dan topan meraung dan menderu. Rasulullah SAW memerintahkan Hudzaifah menjadi distributor diam-diam untuk menyusup ke dalam tenda-tenda kaum kafir yang telah berminggu-minggu tertahan di luar Madinah dan tak sanggup masuk kota alasannya yakni kaum muslim menciptakan pertahanan berupa parit.

Maka kala malam Hudzaifah mengendap-ngendap meninggalkan Madinah untuk hingga di perkemahan musuh. Kala itu angin kencang, alat penerangan mereka padam. Abu Sufyan yang menjadi panglima kaum Quraisy khawatir kalau-kalau ada penyusup yang datang.

Abu Sufyan menyeru kepada anak buahnya, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan mitra duduknya, dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya!"

Maka secepat kilat, Hudzaifah yang sedang menyusup itu mencari orang-orang di perkemahan musuh yang sanggup dipegang tangannya. "Maka segeralah saya menjabat tangan pria yang duduk di dekatku, kataku kepadanya, "Siapa kau ini?" ujarnya, "Si anu anak si anu."

Demikianlah Hudzaifah bersiasat. Tak satupun tentara musuh menyadari kehadirannya di sana. Sekali Abu Sufyan berseru kepada pasukannya, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya unta. Bani Quraidhah telah pula menghianati kita sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami tragedi angin badai, periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian, saya pun akan berangkat." Lalu, Abu Sufyan naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya.

Berkata Hudzaifah:
"Kalau tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya biar tidak mengambil suatu tindakan sebelum menemuinya lebih dahulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah." Lalu kembalilah Hudzaifah kepada Rasulullah SAW dan menceritakan pengalamannya itu.

Menundukkan Irak
Hudzaifah yakni juga seorang yang mahir bertempur. Ia yang dikenal taat beribadah dan seorang pemikir ini juga dikenal sebagai pemberani di medan perang. Ia merupakan tokoh penting dalam pembebasan Irak.

Pada peperangan besar Nahawand, ketika orang Parsi berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menentukan Nu'man bin Maqarrin sebagai panglima Islam. Kepada Hudzaifah dikirim surat biar ia menuju daerah itu sebagai komandan dari tentara Kufah. Umar menyatakan dalam suratnya:

"Jika kaum muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Numan bin Muqarrin. Dan seandainya Nu'man tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudzaifah dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah."

Amirul Mukminin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.

Maka berhadapanlah kedua pasukan. Pasukan Parsi 150 ribu  orang dan kau muslimin hanya 30 ribu orang. Nu'man bin Muqarrin tewas dan kepemimpinan pasukan dipegang Hudzaifah. "Allahu Akbar. Ia telah menepati janjiNya. Allahu Akbar telah dibelaNya tentaraNya!" Demikianlah permintaan Hudzaifah.

Ia memutar kekang kudanya dan menuju pasukan muslim sembari berseru: "Hai umat Muhammad SAW, pintu-pintu nirwana telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lama. Ayuhlah wahai pendekar Badar! Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk!"

Hudzaifah telah memperabukan semangat pasukan muslim. Kemenangan perang Nahawand segera didapat.

Pindah ke Kufah
Segera sehabis kaum muslimin di kota Madain di bawah pimpinan Saad bin Abu Waqqash kurang memadai, khalifah Umar memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Maka pergilah Hudzaifah bersama Salman bin Ziad untuk menyidik lokasi yang sempurna untuk bermukim. Hudzaifah menemukan daerah di sebuah padang yang kosong berbatu.

Segera sehabis mereka pindah ke Kufah kaum muslimin mendapatkan kebaikan. Mereka yang sakit sembuh, yang lemah menjadi lebih kuat, dan urat mereka berdenyutan mengembangkan arus kesehatan. Hudzaifah mengatakan: "Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan alam abadi untuk kepentingan dunia, tetapi hanyalah yang mengambil bab dari kedua-duanya."

Pada suatu hari di antara hari-hari yang tiba silih berganti di tahun 36 hijriah, Hudzaifah menerima panggilan menghadap Ilahi. Saat di simpulan hidupnya itulah, tiba beberapa orang sobat kepadanya. Maka ditanyakanlah kepada mereka, "Apakah tuan-tuan membawa kain kafan?"

"Ada," ujar mereka.

"Coba lihat," kata Hudzaifah.

Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu gres dan agak mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, katanya, "Kain kafan ini tidak cocok bagiku. Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju. Tidak usang saya akan berada dalam kubur menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek."

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Hudzaifah sempat mengucapkan kata-kata:
"Selamat tiba wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati senang tak ada keluh kesah atau sesalku."

Lalu ruh suci itupun pergilah membawa kesholehan dan ketaqwaannya.

Salam untukmu Hudzaifah Ibnul Yaman, semoga ridha Yang Mahakuasa bersamamu.

Alhamdulillah


No comments:

Post a Comment