Tuesday 20 June 2017

Kisah Sahabat Nabi: Zaid Bin Haritsah



Siapakah Zaid bin Haritsah yang digelari “Pecinta Rasulullah” itu? Seorang pemimpin pasukan yang dipercaya Nabi SAW menuju perang Muktah melawan Romawi.  Siapakah seseorang yang berperawakan biasa saja tapi mempunyai sejarah hidup yang hebat dan besar itu?

Inilah kisahnya. Bermula dari seorang wanita berjulukan Suda, ia istri dari Haritsah. Suda ingin sekali berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Haritsah sang suami pun mempersiapkan kendaraan dan perbekalan bagi istri dan anaknya Zaid yang akan pergi bersama kafilah ke kampung Bani Maan. Haritsah tidak sanggup ikut dan merasa berat melepaskan kepergian orang yang dikasihinya, kalau bukan alasannya ada kiprah yang harus dikerjakannya.

Haritsah balasannya melepas kepergian keluarganya itu, dan rombongan kafilah segera berlalu dari pandangan matanya. Sampai suatu hari ketika Suda dan anaknya Zaid masih di kampung Bani Maan terjadi perampokan.  Zaid terpisah dari ibunya dan dibawa perampok sebagai budak. Suda dengan perasaan sedih kembali kepada suaminya yang begitu kaget sehingga tak sadarkan diri.

Haritsah berjalan dari kampung ke kampung mencari buah hatinya. Padang pasir dijelajahinya. Banyak orang yang ditemui ditanyainya. Namun, hasilnya sia-sia. Haritsah melantunkan nestapanya…

Ku tunggu Zaid, ku tak tahu apa yang terjadi …
Dapatkah ia dibutuhkan hidup atau telah mati?
Demi Yang Mahakuasa ku tak tahu, sungguh saya hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai alangkah lamanya sedih nestapa, diriku jadi merana…

Menjadi  Anak Angkat Rasulullah SAW
Syahdan di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar Ukadz yang sedang berlangsung kala itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan kemudian hari diberikan kepada saudaranya Siti Khadijah. Saat itu Khadijah ra telah menjadi istri Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi rasul.  Zaid kemudian menjadi pelayan Rasulullah SAW.

Zaid dimerdekakan, dididik dan dibesarkan sebagaimana anak sendiri oleh Rasulullah SAW.  Sampai suatu hari kabilah dari desa Haristah tiba berhaji di Mekah. Mereka memberikan kerinduan ayah Zaid kepadanya.  Zaid kemudian meminta kabilah memberikan pesannya bahwa ia telah tinggal bersama orang yang paling mulia.

Mengetahui dimana keberadaan anaknya, Haritsah menyusul Zaid ke Mekah. Ia bertemu dengan Nabi SAW yang kala itu belum menjadi seorang rasul tapi telah digelari Muhammad Al Amin, yang terpercaya.  Ia berkata, “Wahai Ibnu Abdul Mutthalib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami tiba ini kepada Anda hendak meminta anak kami, sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah mendapatkan uang tebusannya seberapa adanya.”

Berkata Nabi SAW kepada Haritsah, “Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia menentukan sendiri. Seandainya beliau menentukan Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jikalau ia memilihku, maka demi Yang Mahakuasa saya tak hendak mendapatkan tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku.”

“Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu,” kata Haritsah.

Zaid kemudian dipanggil dan ditanya pilihannya. “Tahukah engkau siapa orang-orang  ini?” Tanya Rasulullah kepada Zaid. “Ya saya tahu, yang ini ayahku dan satunya lagi pamanku,” jawab Zaid. Lalu Zaid ditanya kepada siapa ia hendak tinggal. Tanpa berpikir panjang Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku kecuali Anda. Anda yaitu ayah dan Andalah pamanku,” ungkap Zaid kepada Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW begitu terharu. Demikian pula ayahnya Haritsah. Ia merelakan anaknya alasannya tahu Zaid berada di tangan yang benar.  Zaid dibawa keluar oleh Rasulullah SAW yang ketika itu berkata kepada orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul, “Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai ketika ini, Zaid yaitu anakku yang menjadi mahir warisku dan saya menjadi mahir warisnya.”

Haritah kemudian kembali ke kampungnya. Walaupun tak lagi membawa anaknya pulang, kali ini hatinya telah tentram.

Ayat Tentang Anak Angkat
Demikianlah Zaid tumbuh di bawah pengawasan Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi salah seorang paling awal masuk Islam. Ia kemudian menikah dengan Zainab namun kehidupan rumah tangga mereka tak bertahan lama. Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW kemudian mencarikan Zaid istri yang lain. Zaid menikah dengan Ummu Kaltsum binti Ugbah.

Lantaran insiden tersebut, maka beredarlah berita-berita tak sedap di kalangan muslim kota Madinah. Mereka melihat Rasulullah SAW telah menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri. Perdebatan itu diakhiri pribadi oleh Yang Mahakuasa SWT dengan menurunkan ayat yang memperbolehkan menikahi mantan istri seorang anak angkat yang secara biologis tak ada hubungannya dengan ayah angkatnya.

“Muhammad bukanlah bapak dari seorang pria yang ada bersama kalian, tetapi ia yaitu Rasul Yang Mahakuasa dan Nabi penutup.” QS Al Ahzab 33:40

Selain itu, nama Zaid pun kembali memakai nama ayah kandungnya menjadi Zaid bin Haritsah.

Komandan Perang yang Gugur
Ummil Mukminin, Aisyah ra menyampaikan perihal Zaid, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, niscaya ia (Zaid) yang diangkat menjadi pemimpinnya.”

Zaid memang menjadi komandan perang yang handal di perang Al Jumuh, pertempuran At Tharaf, al-Ish, al-Hismi dan lainnya. Sampai balasannya tiba pada perang Muktah yang populer dimana pasukan muslimin harus menghadapi ratusan ribu tentara Romawi.

Gerak-gerik orang-orang  Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam sanggup tercium oleh Nabi SAW. Sebagai spesialis strategi, Nabi SAW tetapkan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di tempat sendiri serta menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.

Pada Jumadil Ula tahun ke delapan Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa di wilayah Syam. Pasukan Romawi dipimpin oleh Heraklius.  Mereka mengambil tempat di sebuah tempat berjulukan Masyarif dibantu oleh kabilah-kabilah dan suku badui di perbatasan.

Rasulullah SAW menentukan tiga orang penting untuk memimpin perang ini. Pertama, Zaid bin Haritsah, kedua Jafar bin Abi Thalib dan ketiga Abdullah bin Rawahah. Semoga ridha Yang Mahakuasa atas mereka. “Kalian harus tunduk kepada Zaid bi Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang ileh Jafar bin Abi Thalib, dan seandainya Jafar gugur pula maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawahah.” Demikian pesan Rasulullah SAW kepada pasukan muslimin sebelum perang.

Kala itu pasukan Romawi berjumlah 200 ribu orang. Jumlah sebegitu besar tidaklah menggetarkan hati muslimin yang telah teguh hatinya itu. Gugur di jalan Yang Mahakuasa yaitu semata tujuannya.

“Sesungguhnya Yang Mahakuasa telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mukmin dengan nirwana sebagai imbalannya.” QS At Taubah 111

Pada perang Muktah lah Zaid telah menghunuskan pedangnya yang terakhir. Ia menghalau musuh dengan keberanian, menegakkan panji-panji Islam dengan genggaman yang kuat.  Si kecil yang pernah terpisah dari ayah kandungnya telah menemui takdirnya sebagai seorang syuhada. Demikianlah Yang Mahakuasa SWT telah merencakan semuanya bagi Zaid bin Haritsah. Ia telah gugur di jalan Yang Mahakuasa sebelum perang Muktah usai.

Salam untukmu Zaid bin Haritsah, salam untukmu para syuhada.

Alhamdulillah



No comments:

Post a Comment