Saturday 10 October 2015

Mengenal Khalifah Ali Bin Abi Thalib


Khalifah yakni jabatan tertinggi dalam kepemimpinan Islam pacsa Rasulullah Saw. wafat. Mereka dipilih oleh umat Islam melalui musyawarah. Seorang khalifah wajib menjalankan kepemimpinan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Khalifah tidak menjalankan fungsi kenabian, kiprah utama mereka dalam hal keagamaan yakni memimpin shalat jum’at di masjid Nabawi dan memberikan khutbah jum’at. 

Tugas seorang khalifah selain sebagai kepala Negara, beliau juga menjabat sebagai panglima pasukan Islam yang mempunyai kewenangan luas dalam hal pemerintahan. Dalam sejarah, kiprah Nabi Muhammad Saw. sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara diemban oleh empat sobat terdekatnya secara berurutan. Termasuk dalam kiprah tersebut yakni mengurus problem keagamaan umat Islam. Keempat penggantinya inilah yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Secara kebahasaan, Khulafaur Rasyidin berarti para khalifah yang menerima petunjuk. Keempat khalifah tersebut yakni Abu Bakar As-Shiddiq (memerintah 632 – 834 M), Umar bin Khatab (634-644M), Usman bin Affan (644-656 M) dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M).




Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abu Thalib lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Rajab di Kota Mekkah sekitar tahun 600 M. Ia lahir dari pasangan Abu Thalib bin Abdull Muthalib dan Fatimah binti Asad. Ketika lahir ibunya memberi nama haidar yang artinya singah. Namun sang ayah lebih suka menamainya Ali artinya tinggi dan luhur. Abu Thalib yakni abang Abdullah ayah Nabi Muhammad. Makara Ali dan Muhammad yakni saudara sepupu.

Sejak kecil Ali hidup serumah dengan Muhammad Saw., berada di bawah asuhannya. Nabi tentu saja ingat bahwa beliau pernah diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika dalam asuhan sepupunya inilah, Ali menerima cahaya kebenaran yakni Islam. Tanpa ragu sedikit pun ia menetapkan untuk menyatakan beriman kepada Tuhan dan RasulNya. Keputusan ini dilakukan ketika Ali masih kecil, ketika umurnya gres 10 tahun. Secara keseluruhan, ia yakni orang ketiga yang memeluk Islam dan yang pertama dari golongan anak-anak.

Di bawah asuhan Rasulullah Saw., Ali tumbuh berkembang. Segala kebaikan sikap diajarkan oleh Nabi kepada sepupunya. Ali tumbuh menjadi perjaka cerdas, pemberani, tegas, juga lembut hati dan sangat pemurah. Kecerdasannya sangat menonjol. Ia merupakan sobat Nabi yang paling faham wacana Al-Qur’an dan Sunnah, sebab merupakan salah satu sobat terdekat Nabi. Ia mendapatkan eksklusif pengajaran Al-Qur’an dan Sunnah dari Rasulullah Saw.. Setelah hijrah ke Madinah, Ali bekerja sebagai petani, menyerupai Abu Bakar dan Umar. Dua tahun setelah hijrah, Ali menikah dengan Fatimah az Zahra, putri kesayangan Rasulullah Saw.. Dari pasangan inilah lahir dua cucu Rasulullah Saw. yang berjulukan Hasan dan Husain.

Dari Madinah, bersama Nabi dan kaum muslimin lainnya berjuang bersama–sama. Ali hampir tidak pernah mangkir di dalam mengikuti peperangan bersama rasulullah, menyerupai perang Badar, Uhud, Khandak, Khaibar dan pembebasan kota Mekkah.

Pada ekspedisi ke Tabuk, Ali tidak ikut dalam barisan perang kaum muslimin atas perintah Nabi. Ali diperintahkan tingal di Madinah menggantikannya mengurus keperluan warga kota. Kaum munafik menebarkan fitnah dengan menyampaikan bahwa Nabi memberi kiprah itu untuk membebaskan Ali dari kewajiban perang. Mendengar hal tersebut, Ali merasa sedih, dengan pakaian perang lengkap, ia menyusul Rasulullah Saw. dan meminta izin bergabung dengan pasukan. Namun Nabi Saw. bersabda: “Mereka berdusta. Aku memintamu tinggal untuk menjaga yang kutinggalkan. Maka kembalilah dan lindungilah keluarga dan harta bendaku. Tidakkah engkau bahagia, wahai Ali, bahwa engkau di sisiku menyerupai Harun di sisi Musa. Ingatlah bahwa sesudahku tidak ada Nabi.” Dengan patuh Ali kembali ke Madinah.

Sepeninggal Nabi Saw., Ali menjadi kawasan para sobat meminta pendapat. Begitu terhormat posisi Ali di mata umat Islam. Bahkan Abu Bakar, Umar dan Usman ketika menjabat sebagai khalifah tidak pernah mengabaikan nasehat-nasehat Ali. Meskipun tegas dankeras dalam setiap pertempuran, namun Ali mempunyai sifat penyayang yang luar biasa. Ali tak pernah membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Bahkan ia pernah tak jadi membunuh musuhnya dikarenakan sang musuh meludahinya, sehingga membuatnya marah.

Dalam hidup keseharian, Ali hidup dengan bersahaja. Meskipun miskin, Ali tetap gemar bersedekah. Ali tak segan-segan menyedekahkan masakan yang yang semestinya untuk keluarganya. Bahkan, Ali dan keluarganya tidak makan berhari-hari sebab masakan milik mereka diberikan kepada peminta-minta. Melihat aneka macam keutamaannya, tidaklah mengherankan kalau Khalifah Abu Bakar sering kali meminta pendapat Ali sebelum mengambil tindakan.

Sebenarnya ia bahkan sempat berfikir untuk menunjuk Ali sebagai khalifah penggantinya. Namun sebab aneka macam pertimbangan, maka Abu Bakar membantalkan niatnya menunjuk Ali sebagai khalifah. Ketika Umar menjabat khalifah, ia juga tak pernah mengabaikan saran-saran Ali. Umar bahkan memasukkan Ali sebagai salah satu calon khalifah sesudahnya. Ketika khalifah Usman memerintah, nasehat-nasehat Ali juga nenjadi materi pertimbangan sebelum keputusan ditetapkan.

Proses Pengangkatan dan Gaya Kepemimpinan Ali bin Abu Thalib
Pada dikala kaum pemberontak mengepung rumah Khalifah Usman, Ali mengutus dua putra lelakinya yang berjulukan Hasan dan Husain untuk ikut melindungi Khalifah Usman. Namun hal itu tak bisa mencegah peristiwa yang menimpa Khalifah Usman dan juga kaum muslimin. Khalifah Usman terbunuh secara keji pada tanggal 17 Juni 656 M.

Beberapa sobat terkemuka menyerupai Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, ingin membaiat Ali sebagai khalifah. Mereka memandang bahwa dialah yang pantas dan berhak menjadi seorang khalifah. Namun Ali belum mengambil tindakan apa pun. Keadaan begitu kacau dan mengkhawatirkan sehingga Ali pun ragu-ragu untuk menciptakan suatu keputusan dan tindakan.

Setelah terus menerus didesak, Ali jadinya bersedia dibaiat menjadi khalifah pada tanggal 24 Juni 656 M, bertempat di Masjid Nabawi. Hal ini mengakibatkan semakin banyak santunan yang mengalir, sehingga semakin mantap saja ia mengemban jabatan khalifah. Namun sayangnya, ternyata tidak seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah. 

Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama menyerupai pendahulunya yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak senang dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewahmewahan. Ali bin Abu Thalib yakni seorang perwira yang tangkas, cerdas, tegas teguh pendirian dan pemberani. Tak ada yang mewaspadai keperwiraannya. Berkat keperwiraannya tersebut Ali mendapatkan julukan Asadullah, yang artinya singa Allah. Karena ketegasannya, ia tidak segan-segan menggati pejabat gubernur yang tidak becus mengurusi kepentingan umat Islam. Ia juga tidak segan-segan memerangi mereka yang melaksanakan pemberontakan. Di antara peperangan itu yakni Perang Jamal dan Perang Siffin. Berkat ketegasan dan keteangkasannya, perang Jamal sanggup dimenanginya. Namun dalam perang Siffin, Khalifah Ali tertipu oleh kecerdikan bulus pihak Mu’awiyah. Ali hampir memenangi, namun pihak Muawiyah meminta kepada Ali semoga diadakan perjanjian tenang yang disebut perjanjian di Daumatul Jandal.

Kebijakan dan Strategi Ali bin Abi Thalib.

a.  Penggantian pejabat usang dengan yang baru
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi aneka macam pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang sanggup dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.

b.  Penarikan Kembali Tanah Hadiah 

Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara dan menggunakan kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah  diterapkan oleh Umar bin Khatab.

c.  Mengadapi Para Pemberontak 

Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebetulnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair semoga keduanya mau berunding untuk menuntaskan kasus tersebut secara damai. Namun undangan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), sebab Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga menimbulkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menuntaskan masalah, bahkan mengakibatkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari  barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut)  Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini  tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij mengakibatkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.


Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang berjulukan Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun sebab Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan menciptakan perjanjian damai. Perjajian ini sanggup mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga mengakibatkan Muawiyah menjadi penguasa adikara dalam Islam. Tahun 41 H (661 M),  tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.




No comments:

Post a Comment