Thursday 10 September 2015

Tragedi Politik Nasional


Sungguh mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini akhir penemuan politik Bung Karno. Ide dasarnya untuk membentuk front persatuan rakyat yang hanya melibatkan kaum nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) melahirkan konstelasi politik yang saling bertentangan. Di satu sisi, kaum komunis dan nasionalis kiri membentuk front bersama, sementara itu Angkatan Darat dengan didukung golongan agama dan nasionalis kanan berada di sisi yang lain. Interaksi kedua kekuatan itu dengan Bung Karno lah kesannya menimbulkan ketegangan-ketegangan politik, yang memuncak dengan meletusnya kejadian Gerakan 30 September/PKI tahun 1965.

Soekarno & Soeharto

1. Konflik Ideologis dan Politik Tahun 1948–1965
Kata Sir John Seely, orang yang tidak mempelajari sejarah bahwasanya orang yang tidak bijaksana. Perjuangan, perundingan, dan pemberontakan yang terjadi pada masa kemudian bangsa ini ialah sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk dipelajari dan direnungkan. Dengan begitu, orang akan lebih bijak dalam melihat mana mitra dan mana lawan dalam kehidupannya. Berikut ini kita deskripsikan konflik dan pergolakan yang terjadi di Indonesia hingga meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965.

a. Pemberontakan PKI/Madiun
Saat itu Indonesia berbentuk serikat di bawah Kabinet Hatta sedang melangsungkan perundingan-perundingan dengan Belanda. Perhatian pemerintah mendadak terpecah ketika Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin mengadakan provokasi terhadap lawan-lawan politiknya. Berbagai organisasi pro-PKI menyerupai Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Serikat Buruh Pribumi (Sarbupri), dan Barisan Tani Indonesia (BTI) mengadakan agresi pemogokan di banyak sekali kawasan untuk menentang pemerintah. Misalnya yang terjadi pada pabrik karung di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah.

Suasana semakin panas dikala Musso tiba dari Moskow (Uni Soviet) pada bulan Agustus 1948. Dengan cepat, ia mengubah haluan dan ideologi PKI menjadi lebih revolusioner. Partai Sosialis dan Partai Buruh pun bergabung dengan PKI. Dalam sebuah rapat, Musso beropini bahwa revolusi Indonesia ialah episode dari revolusi dunia. Oleh lantaran itu, Indonesia haruslah berada di pihak Rusia. Pendapat Musso ini dibantah oleh Hatta dengan menyampaikan bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam kontradiksi politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan perilaku kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita Indonesia merdeka seluruhnya.

Musso dan kawan-kawan secara frontal menyerang kebijakan pemerintahan Hatta yang tengah berusaha berunding dengan Belanda. Bahkan, Musso juga menentang kebijakan pemerintah dalam melebur kesatuan-kesatuan bersenjata menjadi satu tubuh bersenjata dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kekuatan-kekuatan bersenjata ini memang telah dibuat oleh Amir Syarifuddin dikala menjadi menteri pertahanan. Provokasi PKI terhadap Angkatan Darat meningkat pada selesai bulan Agustus hingga awal September 1948. Di Solo mereka menculik dan membunuh Panglima Divisi IV Kolonel Sutarto, membunuh Dr. Mawardi, menyerang Batalion I/Brigade II/Divisi I Siliwangi dan menyerang penjara Sragen sehingga timbul kekacauan. Namun, mereka gagal mengusir Divisi I Siliwangi dari Solo dan pemerintah kemudian menempatkan Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer kawasan Solo.

Simpatisan PKI Madiun

Akhirnya, tanggal 18 September 1948 PKI Musso mengadakan coup di Madiun dengan menggunakan kesatuan-kesatuan Brigade 29 di bawah pimpinan Letkol Dachlan. Para komandan dan kepala kesatuan di Madiun ditangkap dan dibunuh oleh FDR/PKI, kecuali Letkol Kartidjo yang berhasil meloloskan diri. Setelah merebut Kota Madiun, FDR/PKI memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Bertindak sebagai Gubernur Militer ialah Kolonel Jokosuyono dengan komandan komando pertempuran Letkol Dachlan. Tujuan gerakan Amir-Musso ialah mengganti Soekarno-Hatta, mengubah Undang-Undang Dasar yang berdasarkan Pancasila dengan dasar komunis, dan mengganti asas demokrasi dengan asas diktator. Melalui corong radio Gelora Pemuda, Jokosuyono mulai menyerang pemerintah dengan menuduh Soekarno-Hatta telah menjual tanah air kepada kaum kapitalis. Ia juga menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia ialah kepanjangan tangan kaum kolonial. Gerakan dan pernyataan tokoh-tokoh FDR/PKI ini memicu konfliknya dengan Tentara Nasional Indonesia AD. Setelah mendapatkan kewenangan dari presiden, Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan kepada Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Kolonel A.H. Nasution untuk memulihkan keamanan dalam waktu dua minggu.

Pidato Bung Karno perihal Kudeta PKI di Madiun 
Sehari sehabis Musso merebut Kota Madiun, tanggal 19 September 1948 Presiden Ir. Soekarno berpidato ”Kemarin pagi PKI-Musso mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintah Indonesia. Nyata dengan ini, bahwa kejadian Solo dan Madiun itu, tidak berdiri sendiri melainkan ialah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan pemerintahan Republik Indonesia . . . Engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri, dan ialah menentukan satu antara dua: ikut Musso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Tuhan dengan dukungan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia yang merdeka tidak terjajah oleh negara apa pun . . . .”
Dua minggu Musso menduduki Kota Madiun, mereka disapu higienis oleh Tentara Nasional Indonesia dari Kesatuan Divisi Siliwangi. Melalui Gerakan Operasi Militer I (GOM), Kota Madiun sanggup direbut tanggal 30 September 1948 pukul 16.15 WIB. Saat menyambut pembebasan Kota Madiun dari tangan FDR/PKI Musso itu, presiden berpesan bahwa dengan jatuhnya Madiun, pekerjaan belumlah selesai. Ia berkata pemimpin-pemimpin PKI-Musso masih berkeliaran, yang masih menjadi penyakit bagi republik yang mengganggu kesehatan negara.

b. Pemberontakan DI/TII
Reaksi dalam bentuk yang lain muncul di Jawa Barat. Tidak hanya mengadakan perlawanan menyerupai di kawasan lain, tetapi mereka berniat membentuk negara baru. Pada tanggal 7 Agustus 1949 diproklamasikanlah Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Semula, gerakan Kartosuwirjo hanya berkisar di Jawa Barat. Mereka sanggup leluasa membentuk Tentara Islam Indonesia dan menguasai negara sendiri, menjadikan teror bagi rakyat. DI/TII ialah perkara terberat dan terlama yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Kartosuwirjo sendiri kesannya gres berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Geber, Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam Operasi Bratayudha. Dengan ditangkapnya imam Negara Islam Indonesia ini, berakhirlah petualangan DI/TII di Jawa Barat. Ternyata gerakan-gerakan dengan misi yang sama juga muncul di kawasan lain.


Pemberontakan DI/TII

1) Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah. Semula, ia ialah Komandan Laskar Hizbullah di Mojokerto, Jawa Timur. Setelah bergabung dengan TNI, ia masuk Batalion 52 yang dipimpin Mayor Moh. Bachrin di Wonosobo. Batalion ini kemudian sanggup dipengaruhi sehingga bertambah banyak pengikut Amir Fatah. Akhirnya, pada tanggal 23 Agustus 1949 diproklamasikanlah DI/TII di Desa Pangarasan, Tegal dan menyatakan diri bergabung dengan Kartosuwirjo. Akibatnya, ada pemerintahan kembar di kawasan Brebes–Tegal. Tentu hal ini membingungkan rakyat. Apalagi sehabis pasukan Amir Fatah mulai menyerang pusat-pusat Tentara Nasional Indonesia dan Brimob.

Sementara itu, di Kebumen muncul pula gerakan DI/TII dipimpin oleh Mohammad Mahfu’dh Abdulrachman (Kiai Somalangu). Gerakan yang juga hendak mendirikan negara Islam ini menjadi berpengaruh lantaran keterlibatan Batalion 423 dan 426. Untuk menghadapi gerakan-gerakan itu pemerintah membentuk pasukan gres dengan nama Banteng Raiders. Akhirnya, melalui Operasi Guntur tahun 1954 gerakan mereka sanggup dilumpuhkan oleh TNI.

2) Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar menghimpun dan memimpin bekas pejuang kemerdekaan serta laskar-laskar dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Semula, Kahar Muzakar ialah Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Persiapan Resimen Hasanuddin yang bermarkas di Yogyakarta. Ia pulalah, bersama Andi Matalata dan M. Saleh Lahade yang merintis pembentukan TRI di Sulawesi. Pada tanggal 30 April 1950 ia mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang berisi tuntutan semoga semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tentu, tuntutan ini ditolak oleh pemerintah lantaran demi profesionalisme angkatan perang, pemerintah menerapkan seleksi yang ketat. Hanya yang lulus penyaringan yang sanggup diterima sebagai anggota APRIS.

Ada dua solusi yang ditawarkan pemerintah, yaitu menyalurkan eks gerilyawan itu ke dalam Korps Cadangan Nasional dan member pangkat acting Letkol kepada Kahar Muzakar. Namun, dikala akan dilantik tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dengan membawa peralatan dan senjata yang gres didapatkannya. Pada tahun 1952 ia menyatakan kawasan Sulawesi Selatan sebagai episode dari NII pimpinan Kartosuwirjo. Penguasaan medan dan dukungan persenjataan menciptakan gerakan Kahar Muzakar sulit dijinakkan. Akhirnya, sehabis lebih kurang 14 tahun bergerilya Kahar Muzakar berhasil ditangkap pada bulan Februari 1965 oleh pasukan Divisi Siliwangi. Gerakan Kahar Muzakar mudah sanggup dipadamkan sehabis pembantu utamanya Gerungan juga berhasil ditangkap pada bulan Juli 1965. 

3) Pemberontakan Daud Beureueh
Di Aceh muncul pula gerakan Mohammad Daud (karena ia lahir tanggal 17 September 1899 di Dusun Beureueh, Aceh, Pidie, ia dikenal Daud Beureueh). Pada tanggal 21 September 1953 ia memproklamasikan bahwa Aceh ialah episode dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Latar belakang gerakan ini ialah akumulasi kekecewaan kepada pemerintah pusat. Dahulu, berdasar Ketetapan Pemerintah Darurat RI No. 8/Des/WKPH tanggal 17 Desember 1949 yang ditandatangani Sjafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI), Aceh merupakan provinsi dengan gubernur militernya Daud Beureueh. Namun, pada tanggal 8 Agustus 1950 Dewan Menteri RIS memutuskan bahwa wilayah Indonesia terbagi menjadi sepuluh kawasan provinsi. Provinsi Aceh dilikuidasi menjadi satu kesatuan di dalam Provinsi Sumatra Utara.

Pemberontakan Daud Beureueh

Rakyat Aceh yang memiliki andil besar saat-saat awal berdirinya Republik Indonesia pun melawan. Apalagi kesepakatan penerapan syariat Islam yang pernah diucapkan Presiden Ir. Soekarno dikala berkunjung ke Aceh tanggal 16 Juni 1949, tidak pernah ditepati. Dari situlah, kita merunut munculnya pergolakan di Aceh, bahkan hingga kini. Oleh lantaran itu, pemerintah mudah tidak sanggup menuntaskan pergolakan di Aceh secara tuntas. Daud Beureueh sendiri kesannya mau turun gunung dan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962. Pergolakan mulai surut sehabis Daud Beureueh kembali ke tengah-tengah masyarakat.

c. Pemberontakan APRA
Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung meletus kejadian Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Latar belakangnya ialah adanya friksi dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) antara tentara pendukung federalis (KNIL/KL) dengan pendukung unitaris (TNI). Bekas anggota KNIL yang tetap menginginkan sebagai tentara bagi Negara Pasundan itu membentuk Angkatan Perang Ratu Adil. Mereka bahkan memberi ultimatum kepada pemerintah RIS semoga tetap diakui sebagai Tentara Pasukan dan menolak segala upaya pembubaran terhadap negara episode tersebut. Tentu, ultimatum ini ditolak pemerintah. Akhirnya, 800 orang bekas KNIL bersenjata lengkap menyerang dan menduduki Kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950.

Raymond Westerling

Gerakan yang dipimpin Raymond Westerling itu berhasil membunuh ratusan prajurit Divisi Siliwangi. Westerling juga merencanakan menyerang Jakarta dengan bekerja sama dengan Sultan Hamid II untuk menculik dan membunuh para menteri RIS yang tengah bersidang. Namun, usaha ini sanggup digagalkan oleh APRIS dengan mengirimkan kesatuan-kesatuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perdana Menteri RIS Drs. Moh. Hatta pun mengadakan negosiasi dengan Komisaris Tinggi Belanda. Akhirnya, Mayor Jenderal Engels (Komandan Tentara Belanda di Bandung) mendesak Westerling semoga pergi meninggalkan Kota Bandung. APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS. Tindakan Westerling inilah yang menimbulkan tingginya tuntutan rakyat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.

d. Pemberontakan Andi Azis
Di Makassar terjadi kejadian Andi Azis tanggal 5 April 1950. Saat itu, Kapten Andi Azis dengan satu kompi eks KNIL telah diterima sebagai anggota APRIS, di bawah Letkol Achmad Junus Mokoginta (Pejabat Panglima Teritorium Indonesia Timur). Andi Azis menuntut semoga ia yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur (NIT), dan menentang bergabungnya 900 pasukan APRIS dari Jawa yang dipimpin Mayor H.V. Worang. Pagi-pagi tanggal 5 April 1950, ia dan pasukannya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia di Makassar dan berhasil menawan Letkol A.J. Mokoginta. Akibat tidak menyetujui tindakan Andi Azis itu, Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri dan pemerintahan diambil alih oleh Ir. Putuhena (pro-RI).

Pada tanggal 21 April 1950 Wali Negara NIT Sukawati mengumumkan kesediaannya untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sentra RIS sendiri pada tanggal 8 April 1950 memberi ultimatum semoga dalam waktu 4 × 24 jam Andi Azis melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan tindakannya; pasukannya semoga dikonsinyasi dan senjata maupun tawanan harus diserahkan. Oleh lantaran terlambat melaporkan diri, Andi Azis ditangkap. Dan bersama dengan itu dikirimlah ekspedisi ke Makassar dipimpin Kolonel A.E. Kawilarang, dengan 12 kapal, 2 tank pendarat, dan 12.000 pasukan. Pertempuran pun pecah di Makassar antara APRIS dan KNIL. Meskipun memenangkan pertempuran, APRIS masih menghadapi serangan-serangan dari banyak sekali tangsi KNIL.

Pada tanggal 18 Mei 1950, diadakanlah negosiasi untuk menuntaskan kemelut antara Kolonel A.H. Nasution (APRIS) dengan Kolonel Pereira (Belanda). Kesepakatannya ialah diadakan penjagaan bersama antara Polisi Militer (PM) APRIS dan Militer Politie (MP) KNIL di tangsi-tangsi KNIL dan di dalam kota. Ketegangan kembali terjadi, sehabis Letnan Jan Ekel (dari Nusa Tenggara) yang tidak mengetahui adanya garis demarkasi APRIS-KNIL, ditembak oleh Belanda sesaat sehabis memasuki wilayah KNIL. Pada tanggal 5 Agustus 1950 Markas Staf Brigade Mataram (dengan Komandan Letkol Soeharto) diserang oleh KNIL. Taktik ofensif APRIS berhasil memukul mundur dan mengepung KNIL. Dalam kondisi terjepit, pada tanggal 8 Agustus 1950 KNIL mengajukan diri untuk berunding. Akhirnya, Kolonel A.E. Kawilarang (APRIS) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (KNIL) sepakat menghentikan tembak-menembak serta dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

e. Pemberontakan RMS
Pada tanggal 25 April 1950 Dr. Christian Robert Steven Soumokil (Jaksa Agung NIT) memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Latar belakang kejadian ini ialah krisis yang melanda NIT.

Pemberontakan RMS

Pupella dari Perhimpunan Indonesia Maluku (PIM) mengajukan mosi tidak percaya pada DPR NIT tanggal 20 April 1950. Lima hari kemudian mosi itu diterima sehingga kabinet NIT meletakkan jabatan. Perdana menteri berikutnya ialah Ir. Putuhena yang pro-Republik Indonesia, memprogramkan pembubaran NIT dan meleburkan daerahnya ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Hal inilah yang memicu kekecewaan Soumokil. Setelah berhasil menghimpun pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau yang terlibat kejadian Andi Azis, Soumokil mengadakan serangkaian rapat dan teror. Kepala Daerah Maluku Selatan J. Manuhutu dipaksa untuk menghadiri rapat-rapat gelapnya, sementara ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku ia bunuh. Suasana semakin tegang sehabis dua ribu orang anggota KNIL tiba untuk dikembalikan ke masyarakat.

Setelah serangkaian upaya tenang menemui jalan buntu, kesannya dikirimlah ekspedisi militer dengan nama Gerakan Operasi Militer (GOM) III pada tanggal 14 Juli 1950 dipimpin Kolonel Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur). Dalam operasinya, pasukan dibagi atas tiga grup. Grup I dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusuma, Grup II dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin Mayor Surjo Subandrio. Dengan cepat, APRIS menduduki Pulau Buru, Seram, Ambon, dan lain-lain. Saat Grup II menyerang Waitatiri, tanggal 3 November 1950 Grup I berusaha merebut Benteng Nieuw Victoria. Pertempuran berlangsung dramatis seorang lawan seorang. Selanjutnya, datanglah Grup II dipimpin Letkol Slamet Riyadi. Pertempuran sengit pecah di depan benteng dan Letkol Slamet Riyadi tewas tertembak. Ambon berhasil direbut dan RMS sanggup dilumpuhkan.

4. Pemberontakan G 30 S/PKI
Setelah direhabilitasi oleh pemerintah tahun 1950-an akhir gerakan PKI-Musso di Madiun, secara sistematis PKI mulai memasuki panggung politik nasional. Pelan-pelan mereka mengadakan konsolidasi organisasi, mendidik para kader, dan mengadakan infiltrasi ke banyak sekali forum dan organisasi. Kamu tentu ingat usaha yang secara meyakinkan PKI sanggup masuk empat besar kekuatan nasional dalam pemilu tahun 1955. Usaha PKI untuk masuk dalam konstelasi politik nasional itu dipermudah dengan adanya gerakan separatism DI/TII, PRRI/Permesta, dan pembubaran beberapa partai politik yang dianggap terlibat di dalam gerakan-gerakan tersebut. Untuk memperkuat kedudukan dalam demokrasi terpimpin dan menumbangkan lawan-lawan politiknya, PKI menggunakan keyakinan ”Pancasila = Nasakom” dalam banyak sekali kesempatan. PKI-pun berusaha merapat di balik imbas Bung Karno dan berusaha menampilkan gambaran sebagai pendukung Bung Karno yang paling setia.

a. Kondisi Indonesia Menjelang Pemberontakan G 30 S/PKI
Fenomena menguatnya hubungan antara Presiden Ir. Soekarno dengan PKI itu tidak luput dari perhatian Angkatan Darat. Dengan undang-undang keadaan bahaya, Angkatan Darat memang telah mengambil tindakan terhadap PKI yang dianggap menjalankan agresi sepihak dalam Peristiwa Tiga Selatan, yaitu di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan. Namun, perintah penangkapan terhadap D.N. Aidit dan pelarangan surat kabar PKI ”Harian Rakyat” yang dikeluarkan Angkatan Darat itu justru ditentang oleh presiden. Begitu pula dikala Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dan Penguasa Perang Daerah (Peparda) se-Indonesia mengadakan siding pada bulan September 1960 di Istana Negara. Saran pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan para panglima kepada presiden semoga jangan percaya terhadap keloyalan PKI baik atas pertimbangan ideologis maupun atas pengalaman-pengalaman yang telah lalu, pun tidak dihiraukan oleh presiden. Bahkan presiden menyalahkan perilaku Tentara Nasional Indonesia dan melarang Peperda untuk terlibat dalam urusan politik. Dengan imbas kebijakan presiden, PKI sanggup terus melenggang dari hadangan Angkatan Darat dan semakin leluasa mempropagandakan langkah-langkah politiknya. Menko/Wakil Ketua MPRS D.N. Aidit (yang juga ketua PKI), dikala berceramah di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora tanggal 16 Oktober 1964 berkata bahwa apabila kita (Indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah hingga kepada sosialisme Indonesia, kita tidak lagi membutuhkan Pancasila. PKI pun menghantam lawan-lawan politiknya dengan pernyataan ”Anti-Nasakom = anti-Pancasila”. 

Kehidupan politik dikala itu memang panas lantaran banyaknya isu, propaganda, hasutan, dan fitnah yang beredar di masyarakat. Berbagai kontradiksi dan konflik pun terjadi di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional yang juga anggota Comitte Central (CC) PKI Anwar Sanusi menggambarkan bahwa kita kini berada dalam situasi dikala Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Inilah situasi yang melanda Indonesia pada pertengahan bulan September 1965. PKI yang semakin ofensif dan Angkatan Darat saling berhadapan.

Pernyataan dan kebijakan Presiden Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak saja merangsang dan memberi peluang kepada PKI, tetapi juga menyudutkan TNI. Sejak PKI berhasil menembus empat besar dalam pemilu tahun 1965, Bung Karno mulai menempatkan orang-orang PKI di banyak sekali forum bentukan pemerintah. Misalnya dalam penyusunan DPR-GR, DPA, dan Front Nasional. Berdasar pengalaman tahun 1948, pimpinan Tentara Nasional Indonesia memang tidak percaya lagi kepada loyalitas dan kesetiaan PKI terhadap Pancasila, UndangUndang Dasar, dan kekuasaan yang sah. Namun, presiden menghargai PKI sebagai kekuatan yang mendukung konsepsi-konsepsi presiden sehingga harus diberi posisi yang memadai. 

Ide dasar Ir. Soekarno untuk mempersatukan seluruh potensi bangsa sanggup dimanfaatkan secara baik oleh PKI. Dalam kemelut tiga kekuatan politik yaitu PKI, Ir. Soekarno, dan Angkatan Darat itulah meletus Gerakan 30 September 1965/PKI.

b. Terjadinya Pemberontakan G 30 S/PKI
Satu fakta sejarah yang tidak terbantahkan oleh siapa pun bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.30 telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat serta seorang pembantu letnan polisi. Mereka ialah Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo (Deputi III Men/Pangad), Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman Angkatan Darat), Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko Hankam/Kasab), dan Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (Pengawal Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena).

Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution sanggup lolos dari upaya penculikan dan pembunuhan itu, meskipun kaki kirinya tertembak. Namun, putri kesayangannya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru pasukan Tjakrabirawa. Empat hari kemudian, mayat mereka ditemukan di sebuah sumur bau tanah di sekitar Lubang Buaya dekat pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah dalam keadaan sudah membusuk.

1) PKI ialah Otak dan Pelaku Pemberontakan
Menurut A.H. Nasution dalam bukunya Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Pandji Tertinggi Orde Baru) yang diterbitkan tahun 1967 oleh Penerbit Seruling Masa, otak dan pelaku Gerakan 30 September ialah PKI. Alasan yang ia kemukakan antara lain bahwa keyakinan komunis ialah perebutan kekuasaan. Strategi dan taktik komunis yang dikembangkan oleh Lenin dan Mao Tse Tung mencakup strategic defensive dengan membentuk kader-kader dan pemimpin partai, infiltrasi dan penetrasi ke banyak sekali forum dan ormas, memobilisasi gerakan-gerakan; strategic stalemate dengan mengadakan perlawanan-perlawanan kecil serta pemberontakan sehabis tercipta basis-basis yang kuat; strategic offensive terbentuknya suatu pemerintahan transisi yang diwakili semua golongan kaum komunis menduduki/menempati posisi-posisi penting dalam acara negara itu.

Semenjak tahun 1955 PKI telah menjelma partai dengan massa yang besar dan fanatik, yang telah menyebar di banyak sekali daerah. Mereka jugalah yang mendalangi banyak sekali agresi sepihak yang terjadi di Kediri (Peristiwa Jengkol), Peristiwa Kanigoro, Peristiwa Indramayu, Peristiwa Bandar Betsi, dan banyak sekali pemogokan serta sabotase kaum buruh. Akhirnya berdasarkan buku Nasution itu, PKI mengadakan perebutan kekuasaan tanggal 30 September 1965. Penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat itu dilakukan oleh Resiman Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal Kehormatan Istana/Presiden) di bawah pimpinan Letkol Untung Sutopo, Batalion 454, Batalion 530, dan Pemuda Rakyat.

Dugaan adanya perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan yang sah itu, berdasarkan Nasution, diperkuat oleh keluarnya pengumuman dari Letkol Untung melalui RRI Jakarta, bahwa ia selaku Komandan Pasukan Tjakrabirawa dengan dalih menyelamatkan presiden dan Republik Indonesia, telah mengadakan Gerakan 30 September untuk menghadapi planning perebutan kekuasaan Dewan Jenderal. (Dewan Jenderal sendiri berdasarkan Nasution tidak pernah ada). Setelah pengumuman itu, Bagian Penerangan Gerakan 30 September juga mengeluarkan dekret pertama perihal Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Dewan ini dimaksudkan sebagai ”sumber daripada segala kekuasaan dalam negara Republik Indonesia”.

Selain itu, dekret tersebut juga menyatakan bahwa Kabinet Dwikora demisioner sehingga perlu dibuat Dewan Revolusi Indonesia, Dewan Revolusi Provinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan, yang terdiri sipil dan militer yang mendukung Gerakan 30 September/PKI. Demikianlah sehabis mendengar dan mengetahui banyak sekali fakta itu, Nasution menyimpulkan bahwa PKI telah mengadakan perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan yang sah dari Republik Indonesia.

2) Strategi PKI
Dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia yang diterbitkan Intermasa 1989, Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa PKI-lah yang berada di balik Gerakan 30 September. Oleh lantaran itu, ada tiga kiprah yang harus dilaksanakan oleh para pimpinan PKI. Pertama, memperbaiki imbas dan kekuasaan mereka di angkatan bersenjata. Kedua, berkemas-kemas menghadapi saat-saat Presiden Ir. Soekarno tidak berkuasa lagi. Ketiga, meneruskan usaha mengembangkan imbas mereka di semua sektor masyarakat Indonesia. Dari ketiga kiprah itu, kedekatan PKI dengan Ir. Soekarno yang dikala itu memegang semua kekuasaan, membuka peluang yang lebih besar bagi misi usaha PKI.

Menurut Nugroho Notosusanto, PKI mengadakan serangkaian rapat maraton pada bulan Agustus–September 1965 dengan tempat yang berpindah-pindah. Beberapa keputusan pentingnya sebagai berikut.
  1. Menunjuk satu kompi Tjakrabirawa, dua peleton Brigade Infanteri I, satu batalion pasukan Para Angkatan Udara, dan 2.000 anggota terlatih dari Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lainlain, sebagai pelaku dan pendukung serangan.
  2. Mengamankan” sejumlah jenderal pada permulaan operasi lantaran mereka akan menentang operasi.
  3. Saat operasi berjalan, pasukan-pasukan Angkatan Darat akan dikerahkan untuk memberi kesan bahwa operasi ini ialah ”semata-mata tindakan intern dalam Angkatan Darat”.
  4. Kota Jakarta dibagi dalam banyak sekali sektor operasional, sementara beberapa bangunan vital menyerupai istana kepresidenan, stasiun radio, dan sentra telekomunikasi harus diduduki dengan maksud menguasai kota serta penduduknya. 
Dalam rapat-rapat yang diadakan di rumah Sam disepakati penggunaan Central Komando(Cenko) dengan pasukan khusus bersenjata mencakup Pasopati, Bimasakti, dan Pringgodani. Terpilih sebagai ketua Cenko Letkol Untung dengan anggota Kolonel Abdul Latief, Mayor Udara Sujono, Sam, dan Pono. Kesatuan Pasopati dipimpin Letnan Satu Dul Arief terdiri atas satu kompi dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua peleton dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, serta kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas menangkap, menculik, atau membunuh para jenderal, untuk dibawa ke Lubang Buaya dan diserahkan kepada kesatuan Pringgodani. Kesatuan Pringgodani dipimpin oleh Mayor Udara Sujono yang terdiri atas satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan kekuatan massa rakyat. Mereka bertugas menjaga pangkalan Lubang Buaya, menguasai logistik, dan mendapatkan jenderal-jenderal yang tertangkap.

Kesatuan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi bertugas menduduki instalasi-instalasi vital dan mengelola daerah-daerah yang dikuasai. Mereka terdiri atas tiga kompi dari Batalion Para 454, empat kompi dari Batalion Para 530, dan kekuatan massa dipersenjatai.

Menurut Nugroho Notosusanto, Cenko memutuskan bahwa gerakan tersebut berjulukan Gerakan 30 September. Dalam briefing tanggal 29 September 1965, gerakan itu diberi nama ”Gerakan 30 September” dan Jam-J ialah pukul 04.00 pagi.

Bung Karno dan Pak Harto perihal G 30 S/PKI
1. Pendapat Bung Karno:

”Saya selalu menggunakan kata Gestok. Pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan-ajudan serta pengawal-pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali. Saya menyebutnya ”Gerakan Satu Oktober”, singkatnya Gestok. Penyelidikanku yang saksama memperlihatkan bahwa kejadian Gerakan 30 September itu ditimbulkan oleh ”pertemuannya” tiga sebab, yaitu:
a. kebelingernya pimpinan PKI,
b. kelihaian subversi Nekolim, dan
c. memang adanya oknum-oknum yang ”yang tidak benar”.
Sumber:Surat Presiden Soekarno Nomor 01/Pres/67 tanggal 10 Januari 1967 perihal Pelengkap Pidato Nawaksara kepada pimpinan MPRS
2. Pendapat Pak Harto:
”Apa yang menamakan dirinya ”Gerakan 30 September” telah membentuk apa yang mereka sebut Dewan Revolusi Indonesia. Mereka telah mengambil kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melempar Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi AD. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
Sumber:Pidato Pimpinan Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto tanggal 1 Oktober 1965

c. Penumpasan Gerakan 30 September/PKI
Setelah terjadi kejadian Gerakan 30 September/PKI dan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusioner Indonesia, permasalahan menjadi sedikit terang. Reaksi pun muncul dari banyak sekali kalangan. Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution yang dikala itu di tempat persembunyian, mengirim pesan melalui penghubung kepada Panglima KOSTRAD. Pesan itu antara lain berisi semoga melokalisir pasukan lawan, menutup Kota Jakarta, minta dukungan pasukan dari KODAM VI/Siliwangi, menggunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal, memastikan keadaan presiden, serta segera menghubungi panglima Angkatan Laut, panglima angkatan kepolisian dan panglima KKO. 

Simpatisan PKI

Pelan-pelan markas KOSTRAD pun menjadi sentra gerakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September/PKI. Upaya pembebasan dari Gerakan 30 September/PKI melibatkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi sehabis Kolonel Untung mengumumkan komposisi personalia Dewan Revolusi Indonesia, Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan instruksi. Instruksi itu dimaksudkan untuk melancarkan tindakan yang cepat, tegas, menyeluruh dengan melibatkan kolaborasi antarangkatan.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 lokasi mayat para jenderal AD telah ditemukan. Namun, lantaran sudah malam dan hambatan teknis (keadaan sumur yaitu dengan kedalaman 12 m dan garis tengah kurang dari 1 m), pengangkatan mayat ditunda hingga keesokan harinya. Malam itu juga, para jenderal senior AD menciptakan petisi kepada presiden. Isinya antara lain supaya fitnah terhadap Angkatan Darat (bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta) diperiksa. Apabila fitnah itu benar, para jenderal senior AD siap diadili. Apabila fitnah itu tidak benar, pemfitnah itu juga harus dihukum.

Bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965, mayat para jenderal Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Keberangkatan mayat dari Aula Departemen Angkatan Darat dilepas dengan pidato Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.

Demikianlah, prahara politik yang meminta korban para perwira tinggi Angkatan Darat itu sempat menggoyahkan persatuan bangsa. Presiden Ir. Soekarno sendiri shock sehabis mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat itu tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September/PKI. 

Sementara itu, di dalam tubuh Angkatan Darat terjadi dualisme kepemimpinan lantaran Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai panglima operasi pemulihan keamanan. Mayor Jenderal Pranoto diangkat sebagai caretaker pimpinan Angkatan Darat. Dualisme kepemimpinan dan tidak adanya penyelesaian tegas dari presiden terhadap Gerakan 30 September/PKI, memicu reaksi rakyat.

Dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Ir. Soekarno menyampaikan bahwa kejadian Gerakan 30 September/ PKI itu ialah sebuah riak dalam samudra revolusi. Mengenai penyelesaiannya, presiden menyampaikan tiga opsi yaitu aspek politik Gerakan 30 September/PKI akan diselesaikan sendiri oleh presiden, aspek militer administrative diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan aspek militer teknis (keamanan dan ketertiban) diserahkan kepada Mayjen Soeharto. Namun, realitas yang terjadi di masyarakat menjadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis. PKI menjadi target kemarahan rakyat. Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta dibakar, begitu pula rumah tokoh-tokoh PKI. Konflik fisik pun pecah antara massa yang pro dan anti-PKI. Peristiwa ini tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Orang-orang menyebut dikala itu tengah terjadi perang saudara dan jutaan nyawa melayang menjadi korban. Berturut-turut tokoh-tokoh PKI ditangkap menyerupai Kolonel Abdul Latief (di Jakarta tanggal 9 Oktober 1965) dan Kolonel Untung (di Tegal 11 Oktober 1965).

Pada tanggal 14 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diangkat sebagai menteri/panglima Angkatan Darat dan dilantik dua hari kemudian. Pelanpelan ia memegang kendali pemulihan keamanan dan ketertiban. Tanggal 16 Oktober 1965 Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah (selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah/Pepelrada) membekukan untuk sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormasormasnya. Ormas-ormas PKI antara lain Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tindakan Pepelrada Jakarta ini diikuti oleh Pepelrada Jawa Timur (22 Oktober 1965), Pepelrada Jawa Tengah-DIY tanggal 26 Oktober 1965 menyatakan keadaan perang.

Sementara itu, mulai tanggal 20 Oktober 1965 mulai dilakukan penertiban/personalia sipil dan militer dari unsur-unsur yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Di masyarakat pun mulai berdiri kelompok-kelompok agresi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka mengadakan rapat akbar di Lapangan Banteng untuk menuntut pembubaran PKI.

Janji Presiden Ir. Soekarno untuk menuntaskan secara politik kejadian Gerakan 30 September/PKI tidak kunjung direalisasikan. Konflik sosial politik di masyarakat dan seringnya terjadi tindakan main hakim sendiri, semakin memperuncing keadaan. Demonstrasi terhadap presiden pun sering terjadi di tempat ketika presiden melaksanakan aktivitas. Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan agresi mahasiswa yang tergabung dalam Front Pancasila mengajukan tiga tuntutan kepada DPR-GR. Mereka menuntut pembubaran PKI, pencucian kabinet dari unsur Gerakan 30 September/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Tuntutan mereka kemudian dikenal dengan Tritura.

Upaya presiden untuk memperbaiki keadaan dengan mengadakan reshufle Kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966, justru menyulut demonstrasi besar-besaran. Oleh lantaran dalam kabinet yang dijuluki ”Kabinet 100 Menteri” ini masih bercokol tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rachman Hakim (Mahasiswa Universitas Indonesia) tewas tertembak. Dalam krisis yang mencapai puncak itu, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Men/Pangad untuk atas nama presiden yaitu mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat inilah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang menjadi penanda lahirnya Orde Baru.




No comments:

Post a Comment