Monday 7 August 2017

Cerita Sobat Nabi: Abbas Bin Abdul Muttalib


Pada ketika perang Badar, Rasulullah SAW berpesan semoga tidak menyakiti dua orang Quraisy dari pasukan kafir yang dipaksa berperang melawan Islam. Dua orang itu yaitu Abbas bin Abdul Muttalib dan Abul Bakhtari bin Hisyam.

“Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa berperang, padahal bantu-membantu mereka tidak hendak memerangi kita, oleh alasannya itu siapa di antara kau yang menemukannya, maka janganlah ia membunuhnya. Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad janganlah membunuhnya. Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Muttalib jangan membunuhnya lantaran orang itu dipaksa ikut berperang!”



Siapakah orang-orang itu hingga menerima sumbangan Rasulullah SAW?  Abdul Bakhtari bin Hisyam yaitu orang berusaha menutupi keislamannya dan tak pernah pergi berkumpul dengan pembesar Quraisy. Demikian pula Abbas bin Abdul Muttalib. Siapakah beliau?

“Itulah orangtuaku yang masih ada,” demikian Rasulullah SAW mengungkapkan tentang siapa Abbas bin Abdul Muttalib. Abbas yaitu paman Rasulullah SAW sebagaimana halnya Hamzah Abdul Muttalib. Namun, Abbas  berumur hampir sepantaran dengan Rasulullah SAW. Mereka tumbuh dan besar bersama. Abbas dikenal oleh suku Quraisy sebagai pribadi yang pemurah dan ramah.

Abbas tidak mengumumkan keislamannya hingga tahun pembebasan kota Mekah. Para jago sejarah memandang Abbas sebagai orang yang belakangan masuk Islam, tetapi riwayat lain dalam sejarah memberitakan bahwa ia termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya saja menyembunyikan keislamannya itu.

Abu Rafi, khadam Rasulullah SAW, berkata, “Aku yaitu suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul MUttalib, dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, jago bait, keluarga nabi, maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul Fadl, dan saya juga masuk, hanya Abbas menyembunyikan keislamannya.”

Inilah letak kecerdasan Abbas bin Abdul Muttalib. Orang-orang Quraisy Mekah yang sudah meragukan keislamannya tak bisa melaksanakan apapun padanya. Abbas juga menjadi pemberi informasi bagi Rasulullah di Madinah mengenai acara orang Quraisy di Mekah. Sampai saatnya perang Badar, ia tak mempunyai pilihan lain lantaran pemimpin Quraisy menguji siapa-siapa yang memihak mereka.

Usai perang Badar yang berakhir dengan kekalahan kaum kafirin kala itu, Abbas menjadi tahanan kaum muslimin. Namun, Rasulullah SAW tak mampu tidur memikirkan hal ini. Ia mengingat pamannya berada di tahanan bersama tahanan yang lain. Dalam bunyi pelan Rasulullah SAW berlirih, “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam belenggu…”

Seorang muslimin yang kebetulan mendengar kata-kata Rasulullah SAW segera pergi menuju daerah tahanan dimana Abbas berada. Ia meringankan belenggu ditangannya. Ia kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit.”

Rasulullah SAW kemudian memerintahkan kepada sahabatnya, “Ayo pergilah lakukan menyerupai itu kepada semua tahanan.” Beliau tak ingin kecintaannya kepada pamannya dibeda-bedakan kepada tahanan yang lain.

Setelah itu Rasulullah SAW berkata kepada Abbas, “Wahai Abbas, tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Ab Thalib, Naufal bin Harits dan teman karibmu, Utbah bin Amar, saudara Bani Harits, dan teman karibmu, Utbah bin Amar, saudara Bani Harits bin Fihir alasannya kau banyak harta.”

“Wahai Rasulullah, saya kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku,” kata Abbas yang kala itu tak berniat membayar tebusannya. Karena kejadian ini turunlah ayat Al Quran:

“ Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu,  jika Yang Mahakuasa mengetahui dalam hati kalian kebaikan, niscaya Ia akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian, dan Yang Mahakuasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang .” QS Al Anfal 70

Akhirnya Abbas menebus dirinya dan orang-orang yang ditahan bersamanya. Ia kembali ke Mekah. Sampai pada suatu hari kemudian, ia menyusul Rasulullah SAW ke Khaibar.

Baiatul Aqabah Kedua
Pada Baiatul Aqabah kedua, dimana sebanyak 73 laki-laki dan perempuan perutusan Anshar tiba ke Mekah di isu terkini haji guna mengangkat sumpah setia kepada Yang Mahakuasa dan RasulNya, dan untuk merundingkan hijrah Nabi SAW ke Madinah, waktu itu Rasulullah SAW memberikan informasi perutusan dan baiat ini kepada pamannya lantaran Rasulullah SAW sangat mempercayainya dan memerlukan nasehat pamannya itu.

Kaab bin Malik yang berada dalam baiat tersebut bercerita:  “Kami telah duduk menanti kedatangan Rasulullah SAW di tengah jalan menuju bukit, hingga balasannya ia tiba dan bersamanya Abbas bin Abdul Muttalib. Abbas pun angkat bicara katanya:

“Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad SAW di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mempunyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi  ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian. Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut. Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya setelah ia bergabung dengan kalian lebih baik dari kini kalian meninggalkannya.”

Abbas mengucapkan kata-kata yang begitu tegas dan lugas kepada orang Anshar kala itu.  Pada awal kalimatnya ia terlebih dahulu bertanya, “Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda?” Abbas telah memperkirakan, orang Quraisy tak akan lagi mundur dalam memerangi Rasulullah selain memeranginya. Maka, peperangan itulah hal yang pertama kali ditanyakannya kepada orang Anshar.

Abbas mempertanyakan sanggupkan orang-orang Anshar yang telah bersedia melaksanakan baiat kepada Rasulullah SAW itu menghadapi suku Quraisy dalam berperang? Belum lagi diteruskan pertanyaannya, Abdullah bin Amar bin Hiram menjawab, “Demi Allah, kami yaitu keluarga prajurit, yang telah makan asam garamnya medan laga, kau pusakai dari nenek moyang kami turun temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap maling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang.”

Abbas menjawab dengan wajah berseri, “Kalau begitu anda sekalian jago perang, apakah anda juga punya baju besi?” Mereka menjawab, “Ada kau punya cukup banyak.” Kemudian terjadilah pembicaraan penting dan memilih antara Rasulullah SAW dan orang-orang Anshar.

Demikianlah peranan Abbas dalam membela Rasulullah SAW, padahal kala itu ia masih menyembunyikan keislamannya dari kalangan Quraisy.

Perang Hunain
Pada tahun ke delapan Hijriah, setelah Yang Mahakuasa membebaskan Mekah bagi Rasul dan agamaNya, sebagian kabilah yang kuat di jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang ini dan perkembangan yang cepat dari agama Islam. Maka berhimpunlah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain, untuk mengambil keputusan melancarkan serangan.

Meskipun hanya adonan kabilah-kabilah, jumlah mereka banyak dan sangat kuat. Padahal waktu itu, jumlah pasukan muslimin mencapai 12 ribu orang. Namun, sebagian muslim yang bergabung dengan pasukan waktu itu masih lemah imannya. Ada rasa besar hati pada besarnya jumlah ini bagi pasukan muslimin namun Yang Mahakuasa memberi pelajaran untuk menyapu rasa sombong.  Pada perang ini, kaum muslimin diberi pelajaran berharga dari Yang Mahakuasa berupa serangan yang mendadak di awal peperangan.

Kala itu, pasukan muslimin berkumpul dan hendak menyusun kekuatan di sebuah lembah. Namun, tak disangka pasukan musuh telah hingga terlebih dahulu, bersembunyi dalam parit-parit dan tepi-tepi jalanan di bukit. Serangan mendadak itu menciptakan pasukan muslimin menjadi kocar-kacir.

Rasulullah SAW segera menaiki punggung kudanya sambil berteriak, “Hendak kemana kalian? Marilah kepadaku, saya yaitu Nabi, tidak pernah bohong, saya anak Abdul Muttalib!” Orang-orang di sekeliling Nabi SAW  waktu itu tinggallah Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muttalib, bersama anaknya Fadl bin Abbas, Jafar bin Harits, Rabiah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa teman yang tak banyak jumlahnya.

Seorang perempuan yang kala itu berada di sana yaitu Ummu Sulaim binti Mulhan. Ia sedang hamil tapi eksklusif menaiki onta suaminya, Abu Thalhah ra dan membawanya kea rah Rasulullah SAW. Ia membuka selendangnya untuk diikatkan kepada perutnya yang hamil. Sambil memegang khanjar yang terhunus, ia berkata kepada Nabi, “Demi bapakku dan ibuku yang menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka yang memerangi anda, mereka patut mendapatkannya. “

Sambil tersenyum, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Yang Mahakuasa telah cukup, jadi pelindung, dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim!”

Abbas berada di akrab Rasulullah ketika itu, memegang tali kekang kudanya, menghadang kematian dan bahaya. Abbas kemudian disuruh untuk memanggil pasukan muslimin yang lari kocar-kacir lantaran suaranya yang lantang.

“Hai golongan Anshar! Hai pemegang baiat!” Terdengarlah bunyi Abbas oleh mereka, seolah teringatkan pula akan kesepakatan setia mereka pada Baiatul Aqabah. Mereka berpaling kembali kepada jihad sambil meneriakkan, “Labbaika! Labbaika! Kami datang! Kami datang!”

Sesungguhnya bunyi Abbas kala itu merupakan penggambaran keteguhan hati orang-orang yang diberi sakinah Yang Mahakuasa dalam ayat Al Alquran yang turun berkenaan dengan perang Hunain:

“… dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa besar hati dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berkhasiat sedikit pun bagi kalian, hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, kemudian kalian berpaling melarikan diri…! Kemudian Yang Mahakuasa menurunkan sakinahNya kepada RasulNya dan kepada orang-orang beriman, dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksaNya orang-orang kafir, dan itulah memang jawaban bagi orang-orang kafir.” QS At  Taubah 25-26.

Pasukan muslim yang mendengar panggilan Abbas maju tanpa gentar, menyerang musuh-musuh, pertempuran berlangsung sengit. Pasukan musuh dari pihak Hawazin dan Tsaqif pun berjatuhan dikalahkan pasukan berkuda Yang Mahakuasa SWT.

Mengurusi Masalah Air
Pada suatu isu terkini kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan, keluarlah Amirul mukminin Umar bin Khattab bersama kaum muslimin ke lapangan terbuka. Mereka melaksanakan sholat istisqa. Mereka berdoa memohon hujan kepada Allah.

Umar bangun sambil memegang asisten Abbas, diangkatnya tangan itu sambil berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan melalui perantaraan NabiMu pada masa ia masih berada di antara kami, Ya Allah, kini kami meminta hujan pula perantaraan paman NabiMu, maka mohonkanlah kami diberi hujan.”

Belum lagi kaum muslimin meninggalkan tempatnya, hujan telah turun.Para teman pun menemui Abbas memberinya salam dan menciumnya, “Selamat, kami ucapkan untuk Anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah dan Madinah).

Demikianlah tentang Abbas bin Abdul Muttalib. “Abbas yaitu saudara kandung ayahku. Maka siapa yang menyakiti Abbas, tak ubahnya menyakitiku.” Rasulullah SAW bersabda.

Bersama istrinya Ummu Fadl, yang merupakan perempuan kedua masuk Islam setelah Khadijah istri Rasulullah SAW, Abbas meninggalkan keturunan yang diberkati, salah satunya yaitu Abdullah bin Abbas atau yang dikenal sebagai Ibnu Abbas, seorang yang alim, abid dan sholeh.

Setelah di Mekah mengurusi air para jamaah haji, Abbas tinggal di Madinah di masa simpulan hidupnya. Pada tanggal 14 Rajab 32 Hijriah, penduduk Madinah mendengar kabar meninggalnya Abbas yang kala itu berusia 82 tahun.  Begitu banyak kaum muslimin yang mengiringi kepergian Abbas menyerupai belum pernah ada dari kalangan teman sebelumnya. Jenazahnya disholatkan dipimpin khalifah Ustman bin Affan ra dan dimakamkan di Baqi Madinah.

Salam bagimu, semoga Yang Mahakuasa meridhoimu ya Abbas bin Abdul Muttalib.

Alhamdulillah



Sumber: G+



No comments:

Post a Comment