Saat terjadinya perang Khandaq, pada tahun kelima hijriah, beberapa orang Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kafir supaya bersekutu menghadapi Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka berjanji akan memberikan santunan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut akar agama gres ini.
Siasat dan strategi perang diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidah (Yahudi) akan menyerang dari dalam, yaitu dari belakang barisan kaum muslimin, sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama.
Sampai suatu hari kaum muslim melihat pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah. Mereka membawa perlengkapan, persenjataan dan perbekalan yang banyak. Pada ketika itu kaum muslimin sempat panik dan gentar ibarat dilukiskan Tuhan dalam Al Quran:
“Ketika mereka tiba dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar seperti hatimu telah naik hingga kerongkongan, dan kau menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah.” QS Al Ahzab 10
Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri Madinah untuk mengepung dan menaklukkannya serta menghabisi Muhammad SAW serta agama Islam. Pasukan ini tidak hanya orang Quraisy tapi juga kumpulan banyak sekali kabilah dan suku.
Rasulullah SAW mengajak sobat untuk segera bermusyawarah. Mereka bersepakat hanya akan bertahan. Namun, apa daya kalau pertahanan tak kuat? Maka muncullah seorang yang bertubuh tinggi jangkung dan dihormati, Salman Al Farisi. Ia naik ke suatu tempat yang tinggi untuk mengamati. Salman yang berasal dari Parsi telah mempunyai pengalaman teknik berperang. Setelah mengamati, Salman memberikan seruan yang tak pernah terpikirkan, menciptakan penggalian Khandaq atau parit proteksi sepanjang tempat terbuka di sekeliling kota.
Benarlah, sehabis adanya parit pasukan kafir tertahan hingga sebulan lamanya dalam peperangan alasannya yaitu tak sanggup menerobos masuk ke dalam kota Madinah. Sampai suatu malam Tuhan mengirim angin tornado yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak porandakan tentara mereka.
Penggalian Khandaq dan Batu Besar
Sewaktu menggali lubang pertahanan perang Khandaq, Salman pun turut serta. Bersama Rasulullah SAW, kaum muslimin membawa tembilang dan membelah batu. Sampai ada sebuah kerikil besar yang tak sanggup dihancurkan. Salman mengusulkan kepada Rasulullah SAW untuk membelokkan arah galian. Namun, Nabi SAW datang. Beliau meminta orang yang berada di erat kerikil untuk menjauh.
Rasulullah SAW mengangkat tangan dan berdoa kemudian memegang erat tembilang dan memukul kerikil itu keras-keras. Sekali pukul kerikil itu terbelah. Seketika dari belahannya keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.
“Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah,” kata Salman. Sementara Rasulullah SAW mengucapkan takbir, “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan faktual istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota Maharaja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu.”
Rasulullah SAW memukulkan kerikil itu dua kali. Setelah dipukul keluar lagi lambaian api. Apinya tinggi dan menerangi. Rasulullah SAW bersabda, “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi dan tampak faktual olehku istana-istana merahnya, dan bahwa umatku akan menguasainya.”
Kemudian Rasulullah SAW memukulnya untuk ketiga kalinya hingga risikonya kerikil itu pecah hancur. Sinar yang keluar dari pukulan itu amat terang dan menyala. Rasulullah SAW menguncapkan La ilaha illahllah diikuti kaum muslimin. Lalu diceritakan Rasulullah SAW bahwa ia melihat mahligai istana di Suriah, Shana begitupun tempat lain yang suatu ketika nanti berada di bawah panji bendera Allah.
Berceramah di Depan Rumah
Apabila sedang duduk di bawah naungan pohon rindang di depan rumahnya di Madain, Salman al Farisi suka menceritakan pengalaman dirinya, ilmu atau riwayat. Berikut penuturan Salman Al Farisi.
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang berjulukan Ji. Bapakku seorang bupati di tempat itu, dan saya merupakan makhluk Tuhan yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi kiprah sebagai penjaga api yang bertanggungjawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Bapakku mempunyai sebidang tanah, dan pada suatu hari, saya disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, saya lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Aku mendengar mereka sedang sembahyang. Maka saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati. “Ini lebih baik dari apa yang saya anut selama ini!”
Aku tidak beranjak dari tempat itu hingga matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah mliki bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria,” ujar mereka.
Ketika telah berada di hadapan bapakku, ku katakan kepadanya, “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melaksanakan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.” Kami pun bertanya jawab dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.
Kepada orang-orang nashrani ku kirim informasi bahwa saya telah menganut agama mereka. Kuminta pula supaya bila tiba rombongan dari Syria, supaya saya diberi tahu sebelum mereka kembali, alasannya yaitu saya akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, kemudian meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di sana ku tanyakan jago dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia yaitu uskup pemilik gereja. Maka datanglah saya kepadanya, kuceritakan keadaanku. Akhirnya tinggallah saya kepadanya, sebagai pelayan. Aku melaksanakan fatwa mereka dan belajar. Sayang, uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, alasannya yaitu dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya langsung hingga uskup itu wafat.
Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup gres ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.
Tatkala ajalnya telah erat saya bertanya kepadanya. “Sebagai anda maklumi, telah erat ketika berlakunya takdir Tuhan atas Anda. Maka apakah yang harus kuperbuat dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?” “Anakku, tak seorang pun berdasarkan pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.” Lalu ketika ia wafat, saya berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya. Kuceritakan kepadanya pesar dari uskup tadi dan saya tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Lalu orang itu pun hampir meninggal pula. Kutanyakan padanya siapa yang harus kuturuti. Aku disuruh tinggal bersama seorang pemimpin di Amuria, kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersama orang itu dan sebagai bekal hidup saya berternak sapi dan kambing beberapa ekor.
Ternyata orang di Amuria itu pun hendak wafat pula. Kutanyakan padanya siapa yang sanggup saya percayai.
Ia menjawab, “Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan sanggup kupercayakan engkau padanya. Tetapi kini telah erat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandaianya kau sanggup pergi ke sana, temuilah ia. Ia mempunyai gejala yang jelas, ia tidak mau makan sedekah, sebaliknya bersedia mendapatkan hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.”
Suatu hari lewatlah rombongan perjalanan dari Arab. Aku bertanya pada mereka, “Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya ku berikan kalian sapi-sapi dan kambing-kambiingku.” Sehingga sampailah saya di negeri berjulukan Wadil Qura.
Di sana saya dianiaya, dijual sebagai budak kepada yahudi. Aku menjadi budaknya hingga tiba yahudi Bani Quraidhah membeliku.
Saat sedang di pohon kurma, seorang saudara yahudi tuannya tiba dan berkata, “Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang pria di Quba yang tiba dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.” Salman yang berada di atas pohon gemetar. Ia turun dan ikut bertanya sehingga dipukul majikannya.
Pada petang harinya, ia mengumpulkan seluruh barang-barangnya untuk menemui Rasulullah SAW di Quba. Aku berhasil hingga dan masuk kepadanya ketika ia sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.
Lalu kutanya kepadanya, “Tuan-tuan yaitu perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan saya mempunyai persediaan makan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan sehabis mendengar keadaan tuan-tuan, maka berdasarkan hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya dan masakan itu ku bawa ke sini.” Lalu masakan itu ku taruh di hadapannya.
“Makanlah dengan nama Allah,” sabda Rasulullah kepada sahabatnya. Namun, ia tak ikut memakannya. Aku berpikir itulah salah satu tanda kenabiannya bahwa ia tak memakan sedekah.
Aku pulang kembali kepada majikanku, tapi kembali mengunjungi Rasulullah SAW keesokan harinya. Aku membawa masakan dan menyampaikan bahwa ingin menyerahkan masakan itu sebagai hadiah. “Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda Rasulullah SAW. Kali ini Nabi memakannya. Salah satu tanda lagi bahwa Rasulullah SAW mau mendapatkan hadiah.
Esoknya saya kembali lagi mencari Rasulullah SAW di Baqi. Di sana saya sanggup melihat tanda kenabian di lehernya. Melihat itu, saya meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu saya dipanggil menghadap oleh Rasulullah SAW. Aku duduk di hadapannya kemudian kuceritakan kisahku. Kemudian saya masuk Islam.”
Setelah memeluk Islam, Salman terhalang turut berjihad di perang Badar dan Uhud alasannya yaitu ia masih menjadi budak seorang Yahudi. Sampai suatu hari ia dibantu Rasulullah SAW dibebaskan.
Sholat dan Shaum Abu Darda
Salman pernah tinggal beberapa waktu bersama Abu Darda. Ia melihat bagaimana Abu Darda sholat di tengah malam dan shaum di siang hari, terus-menerus. Sampai Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Disamping engkau shaum, berbukalah, dan disamping sholat, tidurlah.” Peristiwa itu hingga ke indera pendengaran Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi ilmu.”
Saat perang Khandaq, kaum Anshar menyampaikan bahwa Salman dari golongan mereka. Kaum muhajirin pun tak kalah menyampaikan demikian. Namun, Rasulullah SAW mengatakan, “Salman yaitu golongan kami, ahlul bait.”
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menggelari Salman dengan Luqmanul Hakim. Saat Ali ditanya ihwal Salman yang telah wafat ia menjawab,
“Ia yaitu seorang yang tiba dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan sanggup menyamai Lukmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacana kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering.”
Salman yaitu seorang yang bersahaja. Saat kehidupan Madinah mulai berkecukupan, Salman hanya tinggal di rumahnya menganyam daun kurma menjadi keranjang. Uang yang dimilikinya selain untuk nafkah keluarganya akan disedekahkan. Padahal Salman berasal dari Parsi yang penuh dengan kemewahan.
Hisyam bin Hasan dari Hasan menyampaikan bahwa sehabis Salman mendapatkan tunjangan yang lima ribu setahun, ia akan membagi-bagikannya. Sedangkan untuk nafkah keluarganya, ia ambil dari perjuangan kedua tangannya menciptakan keranjang. Ia menolak pangkat dan kedudukan.
Pernah suatu kali Saad bin Abi Waqqash tiba menjenguk Salman yang sedang menangis. “Apa yang kau tangiskan wahai Abu Abdillah?” tanya Saad. “Padahal Rasulullah SAW wafat dengan ridha kepadamu?”
Salman menjawab, “Demi Allah, saya menangis bukanlah alasannya yaitu takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah SAW telah memberikan suatu pesan kepada kita yaitu sabdanya, hendaklah bab masing-masingmu dari kekayaan dunia ini ibarat bekal seorang pengendara. Padahal, hartaku segini banyaknya.”
“Wahai Saad!” Salman melanjutkan. “Ingatlah Tuhan di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu kalau engkau menghukumi. Dan pada ketika tanganmu melaksanakan pembagian.”
Inilah pemahaman Salman Al Farisi mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia yaitu orang yang zuhud pada dunia, harta, pangkat. Ia tak ingin menjadi bab dari kemewahan dunia itu kecuali sedikit yang diambilnya sekedar bekal seorang pengendara.
Amir yang bersahaja.
Saat ditugaskan sebagai Amir di kota Madain, Salman tak mendapatkan gaji. Ia hanya menafkahi keluarganya dari perjuangan menganyam daun kurma. Suatu hari ada seorang Syria keberatan membawa buah tin dan kurma dalam keranjangnya. Ketika dilihatnya seorang dengan pakaian usang, maka dipanggillah Salman yang kala itu sudah menjadi Amir.
Ia meminta Salman membantunya mengangkut keranjang tin dan kurmanya hingga ke rumahnya. Sepanjang jalan ada saja yang menegur. “Assalamu’alaikum, dan juga kepada Amir kami ucapkan salam,” kata orang-orang yang berpapasan. Ada juga yang memperlihatkan diri untuk membantu membawakan namun Salman menolak. Sampai risikonya orang Syria itu mengerti siapa Salman dan menyesal serta meminta maaf. Namun Salman menolak, “Tidak sebelum kuantarkan hingga ke rumahmu!”
Saat ditanya mengapa ia tidak menyukai jabatannya sebagai Amir, Salman menjawab, “Karena manis waktu memegangnya, tapi pahit waktu melepaskannya.”
Salman wafat di rumahnya yang sederhana. Terlalu rendah untuk berdiri dan terlalu sempit untuk berjalan. Ia tak meninggalkan apa-apa selain kesturi untuk wewangian dirinya kala wafat. Sebelum wafat ia meminta istrinya memercikkan wangian kesturi itu ke tubuhnya.
“Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Tuhan (malaikat) yang tiada sanggup makan hanyalah gemar wangi-wangian.” Tak berapa lama istirnya keluar menutup pintu dan kembali lagi, Salman telah dipanggil oleh Tuhan SWT.
Semoga ridha dan rahmat Tuhan atasmu Salman al Farisi.
Alhamdulillah
Sumber: G+
No comments:
Post a Comment