Thursday 27 April 2017

Kisah Sahabat Nabi: Bubuk Hurairah


Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk menciptakan keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, biar kaum muslimin mempunyai hujjah, tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam.


Nama dan Nasabnya
Namanya pada masa jahiliyah yaitu Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun sesudah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan dihentikan memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Tuhan (Abdullah) semata, sehingga dia diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.

Nama tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama dia yaitu Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.

Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah berjulukan Abdullah. Hal ini menciptakan Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua nama tersebut.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yaitu orang Dausi–dengan difathahkan abjad “dal” dan disukunkan abjad “waw”- berasal dari Bani Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al Azd. Sedangkan Al Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang populer silsilah nasab keturunannya terjaga hingga kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.

Jika demikian halnya, berarti dia yaitu Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq.

Berdasarkan klarifikasi di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan, bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang populer itu berkomentar wacana Abu Hurairah seraya berkata, ”Abu Hurairah yaitu seorang mulia. Berkedudukan tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”

Pamannya berjulukan Sa’ad bin Abu Dzubab yang diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur. Orang-orang yang meneliti perilaku politik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jikalau masuk Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.

Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan: Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah. Lalu saya menyatakan diri masuk Islam. Lalu saya bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ kemudian Nabi menunaikan hal itu dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melaksanakan kiprah tersebut.”

Dalam kisah tersebut, kalau kita perhatikan, memang tidak terdapat arahan bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu Hurairah. Namun arahan tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia yaitu anak dari paman Abu Hurairah. Telah hingga kepada kita keterangan yang terperinci dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.

Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur paman dari ibu; bersama-sama ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al Harist dari Bani Daus) mempunyai saudara berjulukan Sa’ad bin Shufaih, seorang jagoan pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian, menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jikalau Abu Hurairah seorang faqir terlantar.

Sebab Kunniyahnya yang Aneh
Abu Hurairah populer dengan kunniyah (julukan) nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memperlihatkan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain lantaran saya pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan ketika itu kudapati anak kucing liar, kemudian saya masukkan ke kantong lenganku. Ketika saya pulang kembali ke rumah, mereka mendengar bunyi kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau yaitu Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus menempel padaku.”

Akan tetapi Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, ”Kalian memanggil dan menjulukiku dengan julukan pria (Abu Hirin), lebih saya sukai daripada julukan perempuan (Abu Hurairah).” Disebutkan di beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam banyak sekali kesempatan dan kejadian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.

Sifat (Ciri Khusus) Yang dimilikinya
Abdurrahman bin Abu Labibah memperlihatkan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, pundak dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang. Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang bau tanah yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.

Muhammad bin Sirin memperlihatkan ciri khusus, bahwa Abu Hurairah yaitu seorang yang berkulit putih, halus, lembut dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan berpakaian dengan kain katun.

Keislaman dan Hijrahnya
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah permintaan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, kemudian kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu Hurairah.

Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin Al Kalbi wacana kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, kemudian ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.

Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah baginda Nabi berada dalam lindungan yang cukup besar lengan berkuasa dan jaminan keamanan?” Dia berkata lagi,”Ada proteksi dan suaka politik pada Bani Daus yang ada semenjak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapat jaminan keamanan tersebut, lantaran (memilih) jaminan Tuhan kepada kaum Anshar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke Madinah pula.

Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”

Mulai ketika itulah Abu Hurairah bertugas dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita wacana dirinya dan informasi para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami kemudian tiba disana. Ketika tiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, ”Rasulullah berada di Khaibar dan akan tiba menemui kalian,” akupun menimpalinya, ”Tidaklah saya mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali saya mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian saya menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari setelahnya. Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana hingga Tuhan Ta’ala membukanya untuk kami.”

Masa Persahabatannya dengan Rasulullah Hu ‘Alaihi Wa Sallam
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tiba ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya akrab dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang akrab dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”

Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu sesudah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya, perilaku antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu a’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan ketika bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.

Keutamaan yang diraih Abu Hurairah
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapat pahala sebagai sahabat Nabi, mendapat sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.

Dia mendapat keutamaan atas do’a Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, biar mendapat petunjuk. Juga mendapat keutamaan Yaman, lantaran ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapat pahala hijrah kepada Tuhan dan RasulNya, lantaran hijrahnya sebelum penaklukan kota Mekkah dan mendapat keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus mendapat keutamaan sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan menyampaikannya.

Cinta Abu Hurairah Kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Abu Hurairah sangat menyayangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda Rasulullah. Ketika saya melihat engkau, senang kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak bisa menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali hingga pingsan.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan (baik) hingga kepada Syafi’i Al Ashbahi wacana citra kasatmata cinta Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu sedang menguasai dirinya.

Ketika Syafi’i memasuki Madinah, tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, ”Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu saya mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang memberikan hadits kepada mereka. Ketika ia membisu dan sendirian, saya bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya, ketika anda memberikan kepadaku satu hadits yang anda dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah menjawab,”Ya. Akan saya sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, saya faham dan ketahui,” kemudian Abu Hurairah tertegun hingga tercengang.

Kesabaran Abu Hurairah Menahan Haus untuk Belajar
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak mempunyai harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan fasilitas yang diberikan Tuhan kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan masakan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya lantaran ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan aturan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia menggunakan dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari materi katun, kemudian ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh saya pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, kemudian datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal saya tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu Berjihad
Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan kiprah suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak terperinci keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, diantaranya:
  1. Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’.
  2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrah pengganti).
  3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’ sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat lantaran takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu wacana pengusiran tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, ”Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga hingga di Baitul Midras.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Masuklah ke dalam agama Islam, pasti anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik Tuhan dan RasulNya. Dan saya akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa diantara kalian mempunyai sedikit harta, maka juallah. Jika tidak, ketahuilah bahwa tempat ini milik Tuhan dan RasulNya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
  4. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah saya ajarkan pada kalian satu hadits wacana kalian, wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah), seraya berkata,”Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah. Setelah hingga disana, kemudian Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya mengangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantri yang tidak berpakaian baju besi. Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Abu Hurairahkah anda?” Aku pun menjawab, ”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan Anshar (tambahan dari salah seorang perawi hadits ini). “Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata,”Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapat sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jikalau mereka mendapat musibah, kita akan berikan yang diminta dari kita.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan berkata, ”Temuilah saya di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami, sedikitpun.”
  5. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad yang shahih hingga kepada dia Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul  pada perang Tabuk.”
  6. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah.
  7. Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai pengganti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi insan hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’. Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, lantaran zakat yaitu haknya harta. Demi Allah. Jika mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam riwayat lain (ikat kepala)- padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menunaikannya, pasti saya perangi mereka lantaran keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah saya melihat, melainkan Tuhan telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi lafadznya tidak memperlihatkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu, kecuali dalam riwayat An Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sesudah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama Abu Bakar, kemudian kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat”.
  8. Keikutsertaannya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan tempat Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir wacana kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.
Sedangkan Ibnu Khaldun memperlihatkan catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama Gubernur Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al Farisi dan Abu Hurairah.

Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.

Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika saya mendapatinya, maka akan saya korbankan jiwa dan hartaku. Karena jikalau saya terbunuh, maka saya yaitu syuhada’ yang paling utama. Dan jikalau saya kembali, maka saya yaitu Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika saya mendapat syahid, maka saya menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jikalau saya kembali (masih hidup), maka saya yaitu Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).

Itulah citra singkat pribadi yang agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi buta oleh musuh-musuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta jago bait- red.


No comments:

Post a Comment