Sekitar kala ke-16, Kesultanan Banten telah berkembang menjadi kerajaan yang besar dan berpengaruh. Wilayah kekuasaannya mencakup sekitar Banten, Jayakarta, hingga ke Lampung. Kebesaran Kerajaan Banten, tidak terlepas dari dikuasainya Selat Malaka oleh Portugis. Para pedagang Islam yang semula berlayar melalui Selat Malaka tidak mau lagi berlayar melalui selat itu. Mereka lebih menentukan berlayar melalui Selat Sunda. Hal ini mengakibatkan Banten menjadi bandar perdagangan.
Namun, sesudah jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC tahun 1619, hal itu membawa akhir jelek bagi Kesultanan Banten. Pelayaran dan perdagangan Kesultanan Banten secara perlahan-lahan mengalami kemunduran. Setiap kapal dagang yang berlayar melalui Laut Jayakarta selalu diperiksa dan dipaksa berlabuh di Jayakarta, terlebih lagi sesudah jatuhnya Selat Malaka ke tangan VOC tahun 1641.
Ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten (1651-1682), Kesultanan Banten sedang berada dalam kemunduran. Untuk itu, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan kejayaan Banten. Langkah yang dilakukannya adalah dengan menjalankan perdagangan bebas. Para pedagang yang mau berlabuh di pelabuhan Banten diberikan dispensasi pajak dan jaminan keamanan. Untuk itu, semenjak Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten, pelabuhan Banten kembali ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik dari nusantara maupun luar negeri, seperti Portugis, Inggris, Perancis, dan Denmark. Terlebih sesudah jatuhnya Makassar ke tangan VOC tahun 1667, banyak pelaut dan pedagang Makassar yang berniaga dan singgah di Banten.
Sultan Ageng ulet membangun perniagaan rakyat Banten, dengan memajukan armada dagang. Untuk itu, dibangunlah armada dagang Banten yang besar, sehingga bisa melaksanakan perniagaan dengan negara-negara lain, menyerupai Persia, Arab, dan Cina.
Kemajuan Banten merupakan bahaya tersendiri bagi VOC, karena Banten memberlakukan perdagangan bebas. Sebaliknya, bercokolnya VOC di Jayakarta merupakan kerikil perintang yang besar bagi Banten. Hal ini sebab kapal-kapal dagang yang akan berlabuh di Banten selalu diganggu oleh pelaut-pelaut VOC. Oleh sebab itu, antara Banten dan VOC terlibat perang masbodoh dan saling mencari waktu yang sempurna untuk menyerang.
Namun, dikala di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kesultanan Mataram) sedang melaksanakan perlawanan yang dipimpin Trunojoyo, Sultan Ageng tidak memakai kesempatan untuk menghancurkan kedudukan VOC di Jayakarta. Padahal kedudukan VOC waktu itu sangat lemah.
Sebaliknya, VOC lebih pintar memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Ketika di Banten terjadi kontradiksi antara Sultan Ageng dan Sultan Haji anaknya, secara rahasia VOC menjalin hubungan dengan Sultan Haji. Tentu saja hal ini mengakibatkan keberanian bagi Sultan Haji untuk itu, Sultan Haji tidak segan-segan berperang dengan Sultan Ageng ayahnya sendiri dan adik-adiknya dengan pertolongan persenjataan dari VOC. Akhirnya, Sultan Ageng kalah dan turun tahta. Selanjutnya, Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Haji yang didukung oleh VOC.
Sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikannya, VOC menuntut Sultan Haji menandatangani perjanjian yang sangat merugikan rakyat Banten. Secara ringkas isi perjanjian itu sendiri seperti berikut.
- Bangsa Inggris dilarang berniaga di Banten, sebab waktu itu Inggris sering berlabuh dan berniaga di Banten.
- Perdagangan Banten terutama ekspor lada dimonopoli oleh VOC.
Sejak perjanjian itu ditandatangani pada tahun 1682, Kesultanan Banten telah kehilangan kedaulatannya. Sultan Haji yang memerintah tidak lebih dari boneka yang menjalankan semua kebijakan VOC dan Banten terus membara. Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Zainul Arifin pada tahun 1733 yang sangat dipengaruhi istrinya, yaitu Ratu Fatimah Syarifah, yang sangat terkenal di kalangan VOC. Pada waktu itu Sultan Zainul Arifin mengangkat putranya Pangeran Gusti menjadi putra mahkota dengan persetujuan VOC, tetapi pengangkatan ini tidak berkenan bagi Sang Ratu. Ratu Fatimah menghendaki menantunya, Pangeran Syarif Abdullah menjadi putra mahkota. Sultan Zainul Arifin yang dipengaruhi istrinya menyerah dan berniat mencabut kembali pengangkatan Pangeran Gusti yang telah dilakukannya. Untuk itu, Sultan Zainul Arifin meminta persetujuan VOC.
Memperoleh perlakuan menyerupai itu, tentu saja Pangeran Gusti tidak menerima. Ia kemudian menyingkir ke Batavia, tetapi atas desakan Ratu Fatimah Syarifah, Pangeran Gusti oleh VOC dibuang ke Sailan (Srilangka). Sementara itu, Sultan Zainul Arifin ditangkap oleh VOC, dengan tuduhan tidak waras (gila), kemudian diasingkan ke Ambon. Sebagai pengganti Sultan Banten diangkatlah Ratu Fatimah Syarifah. Atas jasa menggulingkan Sultan Zainul Arifin dan Pangeran Gusti ini, VOC memperoleh imbalan berupa tanah di sekitar Cisadane, serta hak atas penambangan emas di Lampung.
Rakyat Banten tidak mendapatkan kepemimpinan Ratu Fatimah Syarifah, sehingga balasannya meletus pemberontakan Banten yang dipimpin oleh Ki Tapadan Ratu Bagus Buang. Pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang menyerang ibu kota Banten dan mengepung istana, sehingga pasukan VOC kewalahan. VOC menyadari bahwa meletusnya perlawanan rakyat sebab ketidaksenangannya terhadap kepemimpinan Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif. Untuk itu, VOC menangkap Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif dengan maksud untuk mengambil hati rakyat Banten. Meskipun keduanya telah ditangkap, tetapi perlawanan rakyat Banten terus berlanjut.
Pasukan Ki Tapa terus bertempur mengusir VOC dari Banten. Namun, akhirnya, perlawanan Ki Tapa ini pun berhasil dilumpuhkan oleh VOC. Ki Tapa dan Ratau Bagus Buang menyingkir dan meneruskan perlawanannya di kawasan Bogor dan Banten selatan.
No comments:
Post a Comment