Sunday 24 September 2017

Kisah Inspiratif Sebatang Kara


Tanah di pekuburan umum itu masih berair saat para pentakziah sudah pulang. Sementara Ogal masih duduk sambil sesekali menyeka air matanya. Ibu yang selama ini paling ia hormati dan cintai, tadi malam telah meninggal dunia, menghadap Yang Mahakuasa Yang Maha Esa.

Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali mencelupkan paruhnya di air laut. Bu Tutik dan suaminya masih bangun di belakang sambil menunggu Ogal. Kedua orang bau tanah asuh itu sangat setia kepada Ogal.



“Rasanya saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu,” tiba-tiba Ogal berkata dengan bunyi agak berat.

Bu Tutik memegang lengan Ogal sambil mengelus rambutnya. “Jangan berkata begitu, anakku. Kami
akan menjadi orang tuamu hingga kapan pun.”

“Sampai saya mandiri?” desak Ogal.

“Sampai kapan pun. Aku tidak akan membatasi kamu, lantaran pada hakikatnya engkau yaitu anakku juga.”

“Maksud Ibu?” Ogal tidak mengerti.

“Ya, rupanya engkau ditakdirkan untuk saya asuh dan menjadi anak kami. Tetapi kami bertekad untuk menjadi orang tuamu, bukan sekedar orang bau tanah asuh.”

Ogal memeluk Bu Tutik. Air mata di pipinya tak henti-hentinya mengalir sehingga membasahi bajunya. Sementara suami Bu Tutik turut berduka atas maut Bu Arpati. 

Sebenarnya Ogal masih ragu-ragu, apakah ia akan ikut Bu Tutik atau bertahan hidup dengan mandiri. Jika ia ikut Bu Tutik, tentu tidak sanggup bekerja menyerupai saat ia masih hidup bersama ibunya. Hal itu menjadikannya manja. Tetapi jikalau menolak kebaikan Bu Tutik, terasa tidak enak. Pengorbanan Ibu Guru itu sudah sedemikian besarnya.

Dari pengalaman hidupnya selama ini, banyak hal yang sanggup Ogal petik. Ia biasa bekerja keras, tidak suka menggantungkan pada orang lain. Ia juga biasa hidup prihatin sehingga tidak suka berfoya-foya.

“Bolehkah saya menjajakan camilan elok lagi, Bu?” pinta Ogal kepada Bu Tutik.

“Buat apa, Ogal?”

“Agar saya tetap sanggup bekerja.”

“Kurasa tidak perlu, Ogal. Pusatkan perhatianmu untuk belajar. Sebentar lagi engkau akan ujian.”

“Tapi, saya tidak lezat kalau menganggur, Bu!”

“Di rumahku engkau mustahil menganggur. Engkau sanggup berguru memakai komputer, mengetik, nonton TV, dan memelihara kebun.”

“Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu!”

“Pada hakikatnya engkau bekerja juga.  Memelihara kebun atau membantuku di rumah juga bekerja.”

“Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu?”

Bu Tutik mengangguk.

“Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang sanggup saya lakukan.” 

Bu Tutik tersenyum. “Jangan khawatir.”

Bu Tutik ternyata sanggup memenuhi impian Ogal. Banyak pekerjaan yang sanggup dilakukan Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya barang, dan sebagainya.

Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan mungkin boleh dikatakan sangat sibuk. Pekerjaan di rumah Bu Tutik tidak hanya satu, melainkan sangat banyak. Walaupun begitu, Bu Tutik tidak pernah memaksa Ogal untuk bekerja. Semua itu hanya semata-mata menuruti keinginan Ogal.

No comments:

Post a Comment